|
||
|
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
TANAH AIR, November 1995Sandyakalaning BappenasKetika aktivitas ekonomi dan bisnis makin besar, peran perencanaan pembangunan yang dilakukan Pemerintah makin surut. Lalu, apa perlunya Bappenas? Dulu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menempati posisi sentral dalam menata pembangunan. Di bawah kepemimpinan Prof. DR. Widjojo Nitisastro, arsitek utama ekonomi Orde Baru, Bappenas menjadi dapur bagi rumusan kebijakan ekonomi dan sumber rekrutmen teknokrat yang kemudian memimpin berbagai departemen. Itu dulu. Kini, pada zamannya swasta lebih berperan ketimbang pemerintah dalam pembangunan dana, pasarlah yang mengatur ekonomi, bukan peraturan maupun perencanaan -- jelas "kekuatan" Bappenas menyurut. Pamornya semakin pudar. Pada Kabinet Pembangunan VI, tidak ada lagi menteri yang diorbitkan dari Bappenas. Orang pun kini tak ragu mengritik Bappenas secara terbuka. Padahal, dulu kritik seperti itu jarang terdengar. Kalaupun ada, lebih tertuju ke pilihan strategi pembangunan yang dijalankan ketimbang institusinya. Namun kini, keberadaan Bappenas pun bahkan dipertanyakan (masihkah lembaga itu diperlukan?) Surat pembaca di sebuah harian sore dengan nada sinis mempelesetkan kata Bappenas menjadi Badan Pelelangan Proyek-proyek Nasional (berkaitan dengan keterlibatan Wakil Ketua Bappenas Rahardi Ramelan dalam Tim Evaluasi Pengadaan). Dengan latar belakangan seperti itu, tidak aneh kalau Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas yang sekarang, Ginandjar Kartasasmita, merasa perlu mencari solusi: mau dikemananakan Bappenas? Maka, akhir Agustus lalu, ia pun mengundang 40 tokoh -- kebanyakan pakar ekonomi, tapi ada juga pengusaha dan tokoh LSM -- untuk mencurahkan pemikiran, kritik, dan saran terhadap Bappenas. Mereka diminta berdiskusi secara bebas dan terbuka dalam acara debat publik bertema Peran dan Fungsi Perencanaan Pembangunan dalam Era Globalisasi. Ketika membuka debat publik itu, Ginandjar mengakui bahwa peranan kebijakan Pemerintah dalam mengatur perekonomian tidak terlalu efektif lagi. Selain investasi Pemerintah sudah kalah jauh ketimbang investasi swasta, dampak globalisasi pun sulit ditepis. Sebagai contoh, ketika akan menetapkan kenaikan upah minimum regional yang baru, beberapa waktu lalu, ada pengusaha yang mengancam untuk memindahkan pabriknya ke negara lain. "Globalisasi dan kehidupan yang makin terbuka memerlukan penyesuaian kembali cara-cara kita mengatur kehidupan dan merencanakan masa depan," kata Ginandjar. "Kami di Bappenas juga digugah oleh berbagai kenyataan sehari-hari, yang seolah-olah menunjukkan adanya kekurangan dalam perencanaan, misalnya, sampai menimbulkan akibat kesenjangan dan ketimpangan di tengah masyarakat," lanjutnya. Karena diawali dengan otokritik, para peserta pun leluasa menyampaikan pendapatnya. Apalagi Ginandjar berjanji hanya akan menjadi pendengar yang baik -- tidak akan menginterupsi dan menanggapi pendapat yang dilontarkan. Maka, kritik pun bermunculan. DR. Mari Pangestu, misalnya, menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada lembaga yang memiliki otoritas tinggi dengan tugas terus-menerus memikirkan berbagai aspek perencanaan dan implementasi pembangunan. Termasuk mengingatkan instansi lain jika kegiatannya melenceng dari rencana yang sudah dipatok. Bappenas, jelas tidak dibentuk untuk menjalankan fungsi sehebat itu. Bahkan dalam tugas perencanaan pun fungsi Bappenas lebih hanya sebagai koordinator. Mekanisme perencanaan yang dilakukannya diawali dari GBHN, yang digodok oleh para wakil rakyat di MPR. "GBHN dijadikan titik tolak dalam perencanaan pembangunan nasional," kata Tirta Hidayat, Kepala Biro Perencanaan dan Pengkajian Ekonomi Makro Bappenas. GBHN ini kemudian diterjemahkan menjadi skenario perencanaan pembangunan lima tahun versi Bappenas, meliputi perencanaan makro (pertumbuhan, inflasi, neraca pembayaran dan sebagainya), sektoral dan regional. Skenario Repelita versi Bappenas ini selanjutnya didiskusikan dengan berbagai pihak: DPR, departemen teknis, lembaga pemerintah nondepartemen, Pemda dan Bappeda, pengusaha/Kadin, dan pakar/universitas dari seluruh Indonesia. Diskusi itu, menurut Tirta, dilakukan dalam beberapa putaran. Hasil setiap putaran digunakan untuk memperbaiki skenario Repelita versi Bappenas yang kemudian dibahas lagi dalam putaran berikutnya. Lewat diskusi panjang itu kemudian lahir skenario perencanaan pembangunan nasional yang "bukan versi Bappenas lagi," kata doktor ekonomi lulusan Universitas Cornell (AS) ini. Selanjutnya, skenario perencanaan tersebut dipakai sebagai acuan penulisan draf Repelita yang, setelah dibahas lagi di DPR menjadi dokumen akhir Repelita. Nah, dari Repelita ini kemudian disusun APBN yang merupakan perencanaan jangka pendek. Rencana ini bersifat operasional dan siap diimplementasikan oleh departemen dan lembaga negara. "Masalah penting adalah menerjemahkan sasaran Repelita secara tepat ke sasaran tahunan. Untuk mengatasi masalah tersebut, selama Repelita VI telah disusun Sarlita -- sasaran Repelita tahunan. Sarlita ini sekaligus berfungsi sebagai mekanisme pengawasan, yaitu untuk mengetahui antara rencana dengan pelaksanaannya," kata Tirta. Dilihat dari tahapan perencanaan seperti itu, sebenarnya peran Bappenas tidaklah berkurang. Ia punya otoritas untuk mencoret proyek yang diajukan oleh departemen teknis yang tidak sesuai dengan Sarlita. Sayangnya, sejak Repelita IV, ada instansi yang kerap melakukan "terobosan" untuk mendapatkan mata anggaran dari proyek-proyek yang di luar rencana. Misalnya, dengan memanfaatkan akses langsung ke Presiden, sehingga Bappenas dan Departemen Keuangan akhirnya meluluskan proyek atau program yang semula disisihkan. Agaknya, kondisi inilah yang dinilai sebagai salah satu indikator melemahnya otoritas Bappenas. Selain itu, menurut Mari Pangestu, kegiatan Bappenas tidak selalu berkutat dengan perencanaan. Sebab, terkadang Bappenas tenggelam dalam kesibukan mempersiapkan pidato Presiden. Hal senada, untuk lingkup daerah (Bappeda), dikemukakan Prof. DR. H.A. Karim Saleh, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Ujungpandang. Menurutnya, bidang tugas dan pekerjaan Bappeda ada 14. "Ini terlalu banyak dan tidak bisa dikerjakan dalam setahun," ujarnya. Karena alasan-alasan itu, mantan ketua Bappeda Sulawesi Selatan ini mengaku waktunya lebih banyak tersita untuk rapat ketimbang perencanaan. Meski tahu bahwa keadaan sudah berubah, hampir semua pembicara ternyata berpendapat, peran Bappenas yang belakangan memudar perlu lebih diperkuat lagi. Pengusaha Sofjan Wanandi, misalnya, menilai peran Bappenas kini tak terlalu jelas. "Dulu semua departemen berjalan sesuai dengan rencana yang dibuat Bappenas, kini setiap departemen berjalan sendiri-sendiri," kata CEO Grup Gemala ini. Karena itu, Sofjan berharap agar Bappenas kembali kuat seperti di masa lalu. Paling tidak bisa menjadi koordinator bagi departmen lain. Hal tersebut dipandang penting karena para pengusaha besar, lewat Deklarasi Bali, sudah menyatakan komitmen untuk membantu pengusaha kecil dan menegah. Deklarasi Bali akan sulit diwujudkan tanpa campur tangan Pemerintah. "Mudah-mudahan Bappenas mau menjadi koordinator di antara seluruh instansi pemerintah yang terkait. Kalau pengusaha harus menghubungi sekian banyak departemen, akan pusing sendiri karena koordinasi antarinstansi sekarang ini buruk sekali," kata Sofjan. Hal senada dikemukakan Aburizal Bakrie. Ketua Umum Kadin ini menyatakan, para pejabat Pemerintah terkadang tidak memiliki kesatuan pandangan dalam menjalankan kebijakan yang diambil Presiden. Dengan sudut pandang pengusaha, Ical berpendapat, di pemerintahan pun perlu adanya chief operating officer (COO) untuk mengkoordinasikan kegiatan pembangunan. Posisi COO ini, menurut Ical, layak dipegang oleh Bappenas. Lemahnya koordinasi antarinstansi yang dikemukakan beberapa pembicara membuat heran Rizal Ramli. "Perlu dipertanyakan penyebabnya. Padahal, aparat rajin mengadakan berbagai rapat antardepartemen. Salah satu penyebab adalah tidak adanya visi yang jelas, sehingga menimbulkan perbedaan yang bersifat ad hoc dari berbagai departemen," kata Direktur Pengelola lembaga riset Econit Advisory Group ini. Tanpa visi dan konsep strategis yang dapat dijadikan pegangan operasional, sulit meningkatkan koordinasi. "Dalam kondisi seperti itu, tidak aneh jika timbul redundansi, tumpang tindih, dan ketidakefisienan dalam perencanaan serta implementasi pembangunan," kata Rizal. Hanya saja ia menekankan, redundansi dan ketidakefisienan seperti itu tidak selalu berkaitan dengan salah urus dan korupsi. Menurut Rizal, sejak awal Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II, tuntutan masyarakat terhadap perlunya reorientasi strategi pembangunan kian meluas. Meningkatnya tuntutan itu sebagian terjadi, karena pernyataan-pernyataan para pejabat pemerintah sendiri. Dalam pidato-pidato, para pejabat kerap memberikan impian dan janji-janji tentang pembangunan yang berpihak kepada rakyat. Kenyataannya, "Impian dan janji-janji tersebut masih merupakan fatamorgana -- kecuali dalam bentuk program Inpres Desa Tertinggal di mana Pak Ginandjar sangat menonjol prestasinya, sehingga dikenal luas sebagai tokoh IDT," kata ekonom alumni ITB dan Universitas Boston, AS ini. "Di luar IDT, Bappenas belum dapat merumuskan strategi dan kebijakan yang dapat menerjemahkan tuntutan masyarakat secara jelas dan operasional." Begitu banyak pendapat, saran dan kritik yang dikemukakan. Namun, benang merahnya tetap: merosotnya "derajat" Bappenas dan kurang terpadunya berbagai departeman dalam mengayunkan derap langkah pembangunan. Yang lebih memprihatinkan, kita pun kerap "disuguhi" perbedaan pendapat yang sangat mencolok dari para pejabat tinggi dalam menangani suatu masalah, mulai dari krisis semen, soal proteksi, hingga pembuatan instrumen kebijakan (seperti PMA bebas masuk ke bidang media massa yang bertabrakan dengan larangan pihak asing menanamkan modal di bidang penerbitan dan penyiaran). Karena peranan Bappenas yang lebih sebagai koordinator perencanaan ketimbang perencana seperti telah disebut di atas, untuk membuat lembaga itu kuat tanpa ada perubahan kelembagaan memang sulit. Hanya pemimpin Bappenas yang kuat dan disegani lembaga lain yang bisa. Dan itulah sebenarnya yang menjadi penyebab mengapa Bappenas dulu terkesan begitu kuat: hadirnya figur Widjojo Nitisastro. Ketika Soeharto memegang kekuasaan setelah kekacauan politik tahun 1965, Widjojo memimpin Tim Ahli Ekonomi Presiden -- yang beranggotakan Emil Salim, Subroto, Ali Wardhana dan M. Sadli -- untuk membenahi perekonomian yang nyaris bangkrut. Tim ekonom dari FEUI ini kemudian menduduki kursi kabinet atau pos-pos penting di berbagai kementerian: Widjojo memimpin Bappenas, Ali Wardhana menjadi Menteri Keuangan, Emil Salim Wakil Ketua Bappenas/Menpan, M. Sadli memimpin BKPM. Karena Widojo sejak awal adalah "bos" kelompok ekonom itu, jelas Bappenas jadi menonjol. Posisi Widjojo makin kuat ketika ia diangkat menjadi Menko Ekuin pada Kabinet Pembangunan III. Bergesernya sumber rekrutmen elite birokrasi yang terjadi pada Kabinet Pembangunan sekarang ini menyebabkan figur sekuat Widjojo sulit didapatkan lagi. Apalagi sekarang Ketua Bappenas juga bukan Menko Ekuin lagi. Kecuali alasan tersebut ada alasan lain mengapa Bappenas lemah. Alasan itu dikemukakan Emil Salim. Menurut Emil, melemahnya peran Bappenas, karena pergeseran tahapan sasaran pembangunan. Pada PJP I sasaran yang ingin dicapai adalah kecukupan sandang, pangan, pembangunan infrastruktur dan meletakkan landasan bagi tahapan pembangunan berikutnya. Dengan sasaran seperti itu, maka yang diprioritaskan adalah sektor-sektor seperti pertanian dan pekerjaan umum (PU). Nah, ketika prioritas kecukupan pangan dicanangkan, semua departemen, mulai dari Pertanian, PU, Dalam Negeri, Bulog, Perdagangan, Pemda, dan yang lainnya merapatkan barisan. "Semua departemen memfokuskan pada prioritas yang sama. Akhirnya, kita mencapai swasembada pangan," kata Emil. Demikian pula ketika program Keluarga Berencana diprioritaskan, semua departemen berada dalam satu barisan. "Bukan hanya Departemen Kesehatan yang bekerja." Kini, prioritas PJP II adalah kualitas hidup, karena kecukupan sandang dan pangan sudah dianggap tidak ada masalah. "Dalam menangani kualitas hidup ini, yang menjadi dirigen adalah pasar," kata Emil. Jadi, "pola" permainan PJP I berbeda dengan tahap pembangunan sekarang. Karena yang menjadi sasaran adalah kualitas hidup dan kualitas pembangunan, pasar mesti dibuka lebar. "Jadi, pola yang dilakukan pada fase dulu tidak bisa diterapkan pada fase sekarang. Selain kondisi sudah berbeda, pola permainan dan sasaran pembangunannya berubah," kata Ketua Yayasan Keanekaragaman Hayati ini. "Membandingkan dulu dan sekarang jelas tidak fair. Posisi Bappenas dalam konteks PJP II tidak sama dan serupa dengan Bappenas PJP I. Sebab, substansi berubah, dan kondisi masyarakat pun sudah berubah," lanjutnya. Menurut Emil, sekarang pasar telah menumbuhkan aktor ekonomi yang kuat. Maka, tugas perencanaan adalah mendongkrak yang lemah agar tak habis dilindas mekanisme pasar, memfokuskan diri pada kesenjangan antara yang kuat dan yang lemah. Namun tidak berarti hal itu mesti diatasi dengan mengerem mereka yang sudah berlari cepat dan maju. "Itu tidak fair. Kalau mau tumbuh, silakan tumbuh dan berkembang. Mau investasi jangan dihalang-halangi," ujarnya. Sebaliknya, semua semua fasilitas yang biasa diberikan Pemerintah, seperti proteksi terhadap industri hulu didobrak. "Bukalah kompetisi, buka proteksi. Lantas dongkrak yang lemah dengan memberi kemudahan-kemudahan permodalan dan teknologi," kata Emil. Untuk tugas seperti itu tentu saja tidak dibutuhkan perencana yang berkuasa atas segenap bentuk kegiatan ekonomi lagi. Didin Abidin Masud dan Henni T. Soelaeman.
|
|
||
Mail untuk SWA Online, silakan tujukan ke swa100@rad.net.id
|