PELAKSANAAN UJI COBA OTONOMI DAERAH TINGKAT II
SEBAGAI SUATU TANTANGAN DESENTRALISASI
Oleh
Ir. Suprayoga Hadi, MSP
Biro Bantuan dan Pengembangan Regional II BAPPENAS
PENDAHULUAN
Dengan dicanangkannya uji coba pelaksanaan otonomi daerah tingkat II oleh Bapak Presiden RI pada tanggal 25 April 1995 ini, kita dapat bernapas lega bahwa setelah 21 tahun lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah akhirnya kita dapat melihat semakin kuatnya komitmen Pemerintah di dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.
Dirasakan selama 21 tahun terakhir ini, otonomi daerah dianggap beberapa kalangan sebagai "macan ompong", walaupun sebenarnya pemerintah telah berupaya untuk dapat mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah, antara lain dengan mengeluarkan PP No. 45 Tahun 1992 tentang peletakan titik berat ototnomi pada daerah tingkat II. Pada tahap selanjutnya, dengan dikeluarkannya Kepmendagri No. 105 Tahun 1994 tentang uji coba pelaksanaan otonomi pada daerah tingkat II percontohan yang dimulai pada awal tahun anggaran 1995/96 ini, terlihat semakin mantapnya proses perwujudan otonomi daerah. Walaupun sebenarnya masih terdapat beberapa peraturan pendukung dan penjabaran UU No. 5 Tahun 1974 yang masih "pending" hingga sekarang, antara lain (i) undang-undang tentang hubungan keuangan pusat dan daerah, (ii) undang-undang tentang pajak dan retribusi daerah, dan (iii) peraturan pemerintah tentang organisasi dan hubungan kerja perangkat pemerintah di daerah.
Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Untuk itu daerah yang bersangkutan perlu diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang antara lain melalui penyerahan urusan dan wewenang pemerintahan kepada pemerintah daerah, yang sedapat mungkin sekaligus dengan disertai penyerahan 3 P (pembiayaan, personil, dan perangkat/kelembagaan).
Disamping hal-hal tersebut pemberian urusan kepada daerah perlu didasarkan pada hal-hal yang memang nyata-nyata diperlukan daerah, serta nyata-nyata sesuai dengan keadaan daerah yang bersangkutan. Misalnya suatu daerah yang tidak memiliki potensi kehutanan, tidak akan diserahkan urusan mengenai kehutanan. Oleh sebab itu isi otonomi daerah baik mengenai jumlah dan jenisnya diantara daerah-daerah, tidaklah sama. Disamping itu harus diyakini bahwa daerah yang bersangkutan secara nyata akan mampu dan bahkan berkembang dalam menangani urusan itu. Sehingga dengan demikian pemberian urusan kepada daerah senantiasa diselaraskan antara keadaan dan kebutuhan daerah dengan kepentingan nasional, dalam arti selalu diperhitungkan dalam kerangka kebijaksanaan nasional. Akhirnya didapat suatu keyakinan dan jaminan bahwa suatu urusan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna, bila ditangani secara nyata oleh daerah sebagai urusan rumah tangganya.
ISU PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama ini terlihat bahwa masih terdapat beberapa isu dan permasalahan yang dihadapi dalam perwujudan otonomi daerah yang dicita-citakan, antara lain: (i) belum mantap dan masih beragamnya persepsi tentang otonomi daerah, baik diantara instansi pusat maupun daerah; (ii) status sebagian daerah otonom warisan kolonial yang ada sekarang sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai suatu daerah otonom; (iii) relatif "miskin"nya peraturan pelaksanaan dan penjabaran UU No. 5/1974 yang telah diterbitkan; (iv) tingkat kemampuan daerah masih jauh dari yang diharapkan, yang terutama kemampuan kauangan daerah selama ini masih cenderung "tergantung" pada pemerintah pusat; (v) pengorganisasian unit-unit pemerintahan di daerah belum sepenuhnya menunjang terlaksananya otonomi daerah, termasuk belum mantapnya sistem mutasi dan karier pegawai daerah; dan (vi) sudah relatif "usangnya" beberapa ketentuan tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang tertentu kepada daerah yang diterbitkan pada sekitar tahun 50-an.
Khususnya untuk daerah tingkat II yang akan diberikan fokus titik berat pelaksanaan otonomi, hingga saat ini baru diserahkan 6 hingga 9 urusan dari 19 urusan dan wewenang pemerintahan yang telah diserahkan pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah. Dengan uji coba pelaksanaan otonomi pada 26 daerah tingkat II percontohan, akan semakin banyak dan beragam urusan dan wewenang pemerintahan yang akan menjadi tanggung jawab instansi otonom di masing-masing daerah tingkat II. Desentralisasi urusan dan wewenang tersebut, juga akan memberikan implikasi terhadap jumlah dinas otonom yang diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 26 hingga 28 dinas di daerah tingkat II.
Secara umum, beberapa permasalahan yang dapat ditemukenali dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah sebagai berikut:
1. Belum mantapnya kebulatan persepsi tentang penyelenggaraan mekanisme sistem pemerintahan di daerah khususnya tentang otonomi daerah.
2. Daerah otonom yang ada sekarang ini keberadaannya sebagian besar jauh sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, sehingga apabila diukur dengan parameter Undang-undang tersebut, masih banyak yang belum memenuhi syarat.
3. Ada sementara ketentuan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang belum ditindaklanjuti, yang sangat mempengaruhi terhadap terwujudnya cita-cita otonomi daerah. Ketentuan tersebut antara lain adalah: (1) Undang-undang tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah; dan (2) Undang-undang tentang Pajak dan Retribusi Daerah; (3) Rincian dan tugas sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Koordinasi Penyelenggaraan Pemerintah di Daerah terutama Organisasi dan Hubungan Kerja Perangkat Pemerintah di Daerah.
4. Tingkat kemampuan daerah masih belum merata, bahkan ada yang masih jauh dari yang diharapkan.
5. Pengorganisasian unit-unit pemerintahan di daerah belum sepenuhnya menunjang terlaksananya otonomi daerah.
6. Belum mantapnya sistem mutasi dan karier pegawai daerah.
7. Ketentuan tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang tertentu kepada daerah yang diterbitkan pada sekitar tahun 50-an, kini sudah tidak sesuai lagi.
UJI COBA/PERCONTOHAN OTONOMI DAERAH TINGKAT II DAN BEBERAPA IMPLIKASINYA
Walaupun uji coba pelaksanaan otonomi pada 26 daerah tingkat II percontohan hanya akan menghasilkan beberapa prototipe daerah tingkat II yang akan diberikan perlakukan desentralisasi yang berbeda, dengan fokus perhatian pada aspek tatanan urusan yang akan didesentralisasikan, aspek struktur kelembagaan dan personil, serta aspek pembiayaan pembangunan daerah, namun perlu dipertimbangkan beberapa implikasi pelaksanaan uji coba otonomi pada 26 daerah tingkat II sebagai berikut: (i) implikasi status daerah otonom, (ii) implikasi beban pembiayaan pemerintah daerah, (iii) implikasi restrukturisasi kelembagaan dan struktur organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan (iv) implikasi restrukturisasi anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Implikasi yang pertama, dalam kaitannya dengan rencana eavluasi pelaksanaan uji coba otonomi pada 26 daerah tingkat II percontohan setelah 2 tahun, perlu dipertanyakan apakah akan adan pengaruhnya terhadap status otonom daerah tingkat II yang bersangkutan. Hal ini terutama akan berpengaruh pada daerah-daerah tingkat II yang berdasarkan hasil evaluasi menunjukkan belum/tidak layak sebagai suatu daerah yang berstatus otonom. Nampaknya hasil evaluasi tersebut perlu dipertimbangkan secara lebih cermat dan bijaksana, mengingat status yang dimiliki suatu daerah otonom memiliki 'nilai politis (political value)' yang lebih berat bobotnya dibandingkan dengan sekedar 'nilai teknis (technical value)' yang lebih mudah untuk dipertimbangkan kemungkinan penerapannya.
Sebenarnya dampak uji coba pada 26 daerah tingkat II percontohan belum akan memberikan implikasi terhadap penyesuaian status otonomi daerah-daerah tingkat II percontohan, mengingat bahwa pemilihan 26 daerah tingkat II percontohan telah mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan daerah-daerah tersebut di dalam pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, yang antara lain ditunjukkan dengan relatif besarnya peran dan kontribusi PAD daerah-daerah tingkat II tersebut. Namun apabila kita mempertimbangkan kemungkinan perluasan penerapan uji coba otonomi pada daerah-daerah tingkat II lainnya yang relatif belum kuat kapasitas dan kemampuan otonominya, maka implikasi hasil evaluasi di atas mungkin saja terjadi.
Selanjutnya implikasi kedua terhadap meningkatnya beban pembiayaan pemerintah daerah, terutama terkait dengan diserahkan lebih banyak urusan dan wewenang kepada instansi/dinas otonom pemerintah daerah tingkat II, yang secara logis akan memberikan implikasi terhadap semakin besarnya beban biaya operasional pemerintahan dan biaya pembangunan yang perlu disediakan oleh pemerintah daerah tingkat II sebagai suatu daerah otonom; sebagai konsekuensi logis 'swa-dana (self-financed)' suatu daerah otonom yang bertanggung jawab. Kondisi ini akan cukup berat membebani anggaran rutin dan pembangunan dari masing-masing daerah tingkat II, terutama dengan mempertimbangkan bahwa pada umumnya kondisi keuangan daerah masih relatif belum mandiri dan masih relatif tergantung pada bantuan dan subsidi anggaran dari pemerintah pusat, yang antara lain tercermin dari rendahnya pangsa PAD dalam struktur APBD dan relatif masih besarnya kontribusi subsidi dan bantuan pemerintah pusat terhadap struktur APBD.
Implikasi ketiga yang berkaitan dengan restrukturisasi kelembagaan dan struktur organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perlu dipertimbangkan secara khusus terutama dengan adanya pengalihan tugas dan status instansi vertikal dekonsentrasi yang selama ini melaksanakan urusan pemerintahan dan pembangunan di daerah tingkat II seperti Kandep dan Cabang Dinas Tingkat I menjadi tugas dan status dinas otonom daerah tingkat II. Pengalihan tugas dan status tersebut selain akan memberikan implikasi terhadap semakin meningkatnya beban otonomi yang semakin besar kepada pemerintah daerah tingkat II, juga akan memberikan implikasi terhadap semakin bertambahnya porsi urusan yang akan dilaksanakan oleh instansi vertikal dekonsentrasi di daerah tingkat I. Selain itu, pembinaan dan pemantauan yang selama ini dilakukan departemen/LPND tingkat pusat terhadap pelaksanaan urusan dekonsentrasi oleh instansi vertikal di daerah tingkat II juga akan semakin berkurang.
KONSIDERAN DESENTRALISASI DALAM PERWUJUDAN OTONOMI DAERAH
Masalah lain yang juga akan muncul di daerah tingkat II akibat adanya pengalihan tugas dan status tersebut, adalah ketersediaan, kapasitas, dan kualitas aparat dinas otonom daerah tingkat II yang akan menerima estafet penyelenggaraan urusan dan wewenang pemerintahan dan pembangunan yang selama ini diselenggarakan oleh instansi vertikal dekonsentrasi di daerah tingkat II. Selain itu, masalah lainnya berkaitan dengan pengalihan status aparat mantan instansi vertikal dekonsentrasi di daerah tingkat II; apakah akan dialihkan kepada instansi vertikal dekonsentrasi di daerah tingkat I atau akan dialihkan sebagai aparat pemerintah daerah tingkat II ataupun sebagai aparat perbantuan pada dinas otonom di daerah tingkat II?
Selanjutnya masih terkait dengan implikasi ketiga, implikasi keempat yang berkenaan dengan restrukturisasi anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, adanya restrukturisasi kelembagaan di daerah tingkat II dari instansi vertikal dekonsentrasi (kandep/cabang dinas) menjadi instansi otonom desentralisasi (dinas otonom dati II), memerlukan upaya restrukturisasi DIP/DIK APBN yang selama ini dialokasikan bagi kandep/cabang dinas di daerah tingkat II. Dalam kondisi seperti ini, dapat dilakukan beberapa alternatif upaya restrukturisasi APBN menjadi APBD, antara lain melalui: (i) transfer DIP sektoral APBN ke dalam pola Inpres 'block grant', (ii) transfer DIK APBN ke dalam DIK APBD, atau (iii) transfer DIK APBN ke dalam pola SDO (subsidi daerah otonom) yang akan semakin ditingkatkan besaran dananya untuk membiayai belanja pegawai aparat dinas otonom di daerah tingkat II.
Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan disini bahwa pelaksanaan uji coba otonomi daerah pada daerah tingkat II percontohan dapat dimanfaatkan sebagai 'exercise' dalam rangka menjawab tantangan desentralisasi yang diharapkan akan semakin ditingkatkan penerapannya dalam rangka mendukung penciptaan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.
Suprayoga Hadi, staf Biro Regional II Bappenas, dan dosen pada
Universitas Tarumanegara dan Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta