PELUANG DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN DAERAH DALAM ABAD 21
 

 
Kinerja Pembangunan Daerah

Investasi Pemerintah dalam Pembangunan Daerah

Dalam Repelita VI, investasi pemerintah di sektor pembangunan daerah dan transmigrasi diproyeksikan sebesar Rp.34.227,5 miliar, atau sekitar 19,5% dari keseluruhan rencana investasi pemerintah dalam Repelita VI yang besarnya Rp.175.932,9 miliar.

Rencana alokasi tersebut menunjukkan kepada kita bahwa komitmen Pemerintah untuk meningkatkan pembangunan daerah dalam Repelita VI telah secara konsisten diwujudkan mulai dari tahun-tahun awal Repelita VI hingga pada akhir tahun Repelita mendatang.

Besarnya komitmen pendanaan terhadap sektor pembangunan daerah dan transmigrasi, khususnya subsektor pembangunan daerah tersebut, sekaligus mencerminkan semakin besarnya kepercayaan kepada Pemerintah Daerah untuk lebih berperanan dalam pengelolaan pembangunan di daerahnya masing-masing.

 

Perencanaan Pembangunan Daerah

Sejak dari tahun anggaran 1995/96 yang lalu, kita telah mulai melaksanakan mekanisme perencanaan proyek pembangunan dengan menggunakan mekanisme SARLITA (sasaran Repelita tahunan), yang merupakan penjabaran sasaran umum Repelita VI menjadi sasaran yang lebih rinci yang memuat: (i) jenis kegiatan, (ii) sasaran kegiatan tahunan selama lima tahunan, (iii) rencana pembiayaannya, (iv) lokasi kegiatan, dan (v) pelaksana kegiatan.

SARLITA tersebut selanjutnya dapat dijadikan acuan utama dalam penyusunan DUP/DIP oleh departemen-departemen. Namun penyusunan SARLITA Daerah di masing-masing daerah tingkat I masih mengalami banyak hambatan. Dari 27 propinsi, baru 16 propinsi yang telah menyelesaikan SARLITA daerahnya; itupun masih belum sepenuhnya memuat sasaran-sasaran terinci sesuai dengan yang diminta. Hambatan dan kendala yang dihadapi dalam penyusunan SARLITA Regional ini terutama disebabkan antara lain oleh masih belum mantapnya Repelita VI Daerah yang disusun oleh masing-masing daerah. Dalam hal ini Repelita VI Nasional, khususnya buku V dan VI yang memuat Bab Pembangunan Daerah Tingkat I masing-masing propinsi perlu diperhatikan sebagai arahan penyusunan SARLITA di tingkat daerah.

Mengingat pelaksanaan mekanisme SARLITA ini secara penuh diharapkan dapat diterapkan dalam perencanaan pembangunan tahun anggaran 1996/97 mendatang, sangat diharapkan dukungan dari Pemerintah Daerah untuk dapat segera menyelesaikan SARLITA daerah masing-masing, sehingga upaya kita bersama dalam meningkatkan pembangunan daerah pada Repelita VI ini akan lebih cepat terwujud. Harapan saya mekanisme perencanaan dari bawah melalui berbagai tahapan, mulai dari desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, hingga Konsultasi Regional Pembangunan (Konregbang) dan Konsultasi Nasional Pembangunan (Konasbang), segera dimulai sedini mungkin dan melibatkan masyarakat seluas mungkin.

 

Peningkatan Pemerataan Pembangunan

 

Investasi Pembangunan di Daerah

Pembangunan ekonomi yang selama ini telah menghasilkan pertumbuhan yang tinggi ternyata belum sepenuhnya dapat mengatasi permasalahan kesenjangan antardaerah tersebut. Perbedaan laju pembangunan antardaerah menyebabkan terjadinya kesenjangan kemakmuran dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, dan antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan.

Untuk mengurangi kesenjangan yang masih ditemui selama PJP I, dalam PJP II yang dimulai pada Repelita VI, investasi pemerintah menjadi sarana yang penting untuk memacu pembangunan daerah yang tertinggal. Sehubungan dengan itu dikembangkan kebijaksanaan alokasi investasi pemerintah yang lebih besar ke kawasan di luar Jawa khususnya pada propinsi-propinsi di kawasan timur Indonesia, untuk mendorong investasi swasta ke kawasan yang sama, dan pertumbuhan ekspor nonmigas pada kawasan di luar Jawa.

Dalam Repelita VI propinsi-propinsi di KTI akan memperoleh kenaikan pangsa investasi pemerintah dari 26% pada tahun 1993 menjadi 27,6% pada tahun 1998. Pada akhir PJP II, pangsa yang diperoleh propinsi-propinsi di wilayah KTI diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 30%.

Kondisi yang sama diharapkan juga terjadi terhadap alokasi investasi swasta kepada wilayah di luar Jawa, sehingga pangsa investasi pemerintah di Jawa akan menurun dari 73,6% pada awal Repelita VI menjadi sekitar 71,7% pada akhir Repelita VI, sedangkan pangsa wilayah KTI akan meningkat dari 11,4% menjadi 12,6% selama periode yang sama.

Percepatan pertumbuhan pembangunan wilayah yang relatif tertinggal tersebut juga akan memberikan implikasi yang cukup nyata pada reorientasi ekspor nonmigas. Secara rata-rata, ekspor diperkirakan akan tumbuh sekitar 16,8% per tahun selama kurun waktu Repelita VI. Khusus untuk wilayah KTI, pertumbuhan ekspor nonmigasnya diperkirakan akan sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional.

Pada kenyataannya dalam empat tahun pelaksanaan Repelita VI ini, secara berurutan dapat ditunjukkan bahwa alokasi APBN untuk propinsi-propinsi di wilayah KTI pada tahun 1995/96 yang besarnya Rp5.339,2 miliar meningkat sebesar 13,3 persen pada tahun berikutnya. Kenaikan yang terbesar terjadi pada tahun selanjutnya, yaitu TA 1996/97, dimana jumlah alokasi mengalami peningkatan sebesar 21,5 persen dibandingkan TA 1995/96. Selanjutnya kenaikan juga terjadi pada tahun 1997/98 ini, dimana alokasi APBN tahun 1997/98 ke propinsi-propinsi di KTI meningkat sebesar 20,6 persen dari tahun sebelumnya, yaitu dari Rp6.486,58 miliar menjadi Rp7.821,85 miliar. Dengan demikian, dilihat dari sebaran kenaikan alokasi APBN dalam empat tahun terakhir ini, kenaikan rata-rata sebesar 18,4 persen yang diperoleh propinsi-propinsi di wilayah KTI ini masih relatif sangat tinggi dibandingkan baik dengan propinsi-propinsi lainnya di wilayah KBI maupun secara rata-rata nasional yang kenaikannya secara berurutan sekitar 11,4 persen dan 14,2 persen. Apabila dilihat secara keseluruhan, maka investasi pemerintah ke wilayah KTI hingga tahun 1997/98 sudah mencapai 30,2 persen dari investasi secara nasional. Dengan demikian, pencapaian sasaran investasi selama kurun waktu PJP II di wilayah KTI sebesar 30 persen telah dapat terlampaui selama empat tahun pertama Repelita VI yang lalu.

Gambaran rencana alokasi investasi pemerintah yang dikemukakan di atas sudah barang tentu masih perlu didukung oleh partisipasi investasi dari pihak dunia usaha dan masyarakat, terutama dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan keuangan Pemerintah. Oleh sebab itu, upaya untuk menarik swasta dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan daerah menjadi sangat penting untuk segera diwujudkan, melalui peningkatan peranan pemerintah daerah dalam memberikan kemudahan dan dukungan serta iklim yang baik bagi investasi masyarakat. Upaya tersebut harus seiring dengan peningkatan dan pemantapan peran dan tugas aparat sesuai bidang masing-masing, sehingga mampu menjamin terwujudnya optimisme dan rasa aman investor.

Dalam rangka mengupayakan peningkatan daya tarik investasi dunia usaha khususnya ke wilayah KTI, selain perlu meningkatkan peran pemerintah daerah, beberapa prasarana dasar investasi yang memadai perlu pula disediakan dengan harga yang lebih terjangkau. Di samping itu, pemerintah akan mendorong penyediaan informasi dan peluang usaha yang lebih baik untuk wilayah luar Pulau Jawa, khususnya wilayah KTI, disertai kebijaksanaan fiskal dan moneter yang lebih memperhatikan kepentingan dunia usaha dan investor swasta di kawasan tersebut.

Investasi pemerintah dalam Repelita VI untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi di kawasan timur Indonesia direncanakan secara lebih proporsional untuk mendukung upaya percepatan pembangunan pada kawasan timur Indonesia pada khususnya dan luar Jawa pada umumnya.

 

Orientasi Pembangunan Daerah pada Kawasan Timur Indonesia

 

Latar Belakang Pembangunan Kawasan Timur Indonesia

GBHN 1993 mengamanatkan perlunya menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah serta melaksanakan otonomi daerah yang nyata, serasi, dinamis, dan bertanggungjawab di dalam suatu kesatuan Wawasan Nusantara. Implikasinya adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan daerah tidaklah sekedar memberikan kompensasi alokasi finansial kepada propinsi atau kawasan yang relatif tertinggal (misalnya KTI), akan tetapi justru lebih difokuskan untuk dapat menumbuhkan sikap kemandirian dari masing-masing daerah tersebut untuk dapat mengelola dan mengembangkan potensi sumberdaya yang dimiliki demi kepentingan daerah yang bersangkutan pada khususnya maupun kepentingan nasional pada umumnya. Selama PJP I, perkembangan ekonomi antardaerah memperlihatkan kecenderungan bahwa propinsi-propinsi di Pulau Jawa pada umumnya mengalami perkembangan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan dengan propinsi lainnya di luar Jawa. Perbedaan perkembangan antardaerah tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan kesejahteraan dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara kawasan barat Indonesia (KBI) dengan kawasan timur Indonesia (KTI), dan antara daerah perkotaan dengan daerah perdesaan. Disamping itu, masih ditemui daerah-daerah yang relatif tertinggal dibandingkan daerah lain, yaitu daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah terbelakang lainnya.

 

Investasi Pembangunan Kawasan Timur Indonesia

Dilihat dari distribusi regional investasi, dalam periode 1983-1990, terlihat masih kecilnya investasi di KTI, baik investasi pemerintah (28,5%) maupun investasi swasta (8,4%) meskipun ada kecenderungan peningkatan dari periode sebelumnya, yaitu 23,9% untuk investasi pemerintah dan 7,7% untuk investasi swasta. Dengan mengikuti skenario pembangunan regional yang telah digariskan dalam Repelita VI diperlukan laju pertumbuhan investasi pemerintah (DIP dan Inpres) yang lebih tinggi dari rata-rata nasional untuk semua daerah tingkat I di luar Jawa. Implikasinya terhadap wilayah KTI akan memperoleh kenaikan pangsa investasi pemerintah dari 26% pada tahun 1993 menjadi 27,6% pada tahun 1998. Pada akhir PJP II, pangsa yang diperoleh propinsi-propinsi di wilayah KTI diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 30%.

Skenario percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah tertinggal juga menunjukkan adanya reorientasi investasi swasta ke wilayah luar Jawa. Sebagai hasilnya akan terlihat bahwa pangsa investasi swasta di Jawa akan menurun dari 73,6% pada awal Repelita VI menjadi sekitar 71,7% pada akhir Repelita VI, sedangkan pangsa wilayah KTI akan meningkat dari 11,4% menjadi 12,6% selama periode yang sama. Implikasi lainnya adalah pada reorientasi ekspor nonmigas. Berdasarkan skenario pertumbuhan ekonomi makro nasional, kinerja pertumbuhan ekspor akan masih bergantung pada propinsi-propinsi di Jawa. dengan adanya reorientasi investasi pemerintah yang sekaligus diikuti dengan peningkatan investasi swasta ke wilayah di luar Jawa, maka kinerja ekspor wilayah KTI diperkirakan juga akan lebih tinggi dari rata-rata nasional, yaitu 12,7%.

 

Kendala dan Tantangan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia

Pemerintah juga menyadari bahwa kendala-kendala pembangunan seperti kurangnya ketersediaan prasarana dan sarana dasar ekonomi, terbatasnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia serta kendala geografis yang relatif terisolasi merupakan masalah utama bagi pengembangan KTI. Beberapa propinsi yang lebih cepat berkembang memiliki jumlah dan kualitas prasarana dan sarana yang relatif lebih baik dibandingkan propinsi lainnya, seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, serta Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Begitu pula dengan jaringan transportasi, telekomunikasi, dan energi listrik, ketersediaan dan kualitas pelayanannya di wilayah KTI masih harus ditingkatkan.

Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan berkurangnya tingkat kesenjangan pembangunan antardaerah, khususnya antara wilayah KBI dengan wilayah KTI, perlu diupayakan dukungan dari investasi pemerintah yang lebih memadai pada wilayah-wilayah tertinggal. Dukungan investasi pemerintah yang memadai tersebut perlu pula dibarengi dengan penciptaan dan perbaikan iklim investasi yang pada gilirannya akan menunjang peran serta investasi dari pihak swasta untuk dapat menanamkan modalnya pada wilayah-wilayah yang relatif masih tertinggal tersebut. Disamping itu, mengingat luasnya wilayah dan sulitnya kondisi alam, serta terbatasnya sumberdaya dan dana yang tersedia di kawasan ini, pembangunan prasarana dan sarana tersebut perlu diprioritaskan pada wilayah-wilayah yang telah dan akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan, baik dalam skala regional maupun lokal.

Meskipun kita terbuka bagi penanaman modal dari sektor manapun, namun pertimbangan aspek pemerataan perlu dijadikan landasan pokok dalam strategi pengembangan ekonomi rakyat dan usaha nasional, yaitu untuk menumbuhkan sikap dan jiwa wiraswasta serta ktrampilan pengusaha daerah setempat. Disamping itu pula, dirasakan perlu untuk meningkatkan kualitas perencanaan dengan antara lain melalui perencanaan yang lebih peka terhadap masalah jender (gender sensitive planning).

Telah kita sadari bahwa salah satu kendala utama pembangunan di wilayah KTI adalah masih kurangnya tenaga terampil dan terdidik yang mencerminkan rendahnya kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia setempat. Dilain pihak, daya tarik wilayah KBI lebih kuat terutama disebabkan oleh kurangnya lapangan kerja yang tersedia untuk menyerap angkatan kerja yang ada. Sesuai dengan sasaran skenario pengembangan regional kita, pada akhir Repelita VI di wilayah KTI akan terjadi pertambahan lapangan kerja sebanyak 2,187 juta orang, yang dihasilkan oleh laju pertumbuhan rata-rata lapangan kerja dan angkatan kerja di wilayah KTI sebesar 2,9% per tahun. Dengan demikian, pada akhir Repelita VI diperkirakan akan terjadi kelebihan angkatan kerja sebanyak 121 ribu orang. Hal yang sama terjadi pada wilayah KBI, dimana pada akhir Repelita VI akan kelebihan angkatan kerja sebanyak 935 ribu orang.

Selanjutnya apabila ditinjau berdasarkan sebaran menurut propinsi dan wilayahnya, terlihat bahwa terdapat beberapa propinsi di wilayah KTI yang akan mengalami kekurangan angkatan kerja, seperti di wilayah Kalimantan yang secara keseluruhan kekurangan angkatan kerja sebanyak 173 ribu orang, yang tersebar di Kalimantan Barat (52 ribu), Kalimantan Tengah (32 ribu), Kalimantan Selatan (33 ribu), dan Kalimantan Timur (8 ribu). Selain pada propinsi-propinsi di wilayah Kalimantan, propinsi lainnya di wilayah KTI yang pada akhir Repelita VI akan kekurangan angkatan kerja adalah Maluku (22 ribu) dan Irian Jaya (9 ribu). Adanya kekurangan angkatan kerja di beberapa propinsi tersebut memberikan implikasi terhadap perlunya peningkatan mobilitas penduduk dan angkatan kerja antarpropinsi, khususnya antara propinsi-propinsi di Jawa seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kelebihan angkatan kerja masing-masing sebanyak 644 ribu dan 316 ribu orang, dengan propinsi-propinsi di luar Jawa yang kekurangan angkatan kerja seperti pada 6 propinsi di wilayah KTI diatas dengan penekanan perlunya pemberian insentif bagi peningkatan peranserta aktif dunia usaha di kawasan tersebut.

 

Pengembangan Kawasan Andalan di Kawasan Timur Indonesia

Dalam Repelita VI telah ditentukan kawasan-kawasan andalan yang perlu dikembangkan dengan dukungan semua sektor pembangunan. Di dalam strategi pembangunan daerah khususnya untuk wilayah KTI diupayakan untuk mewujudkan keterkaitan fisik dan ekonomi antarwilayah, termasuk kawasan cepat tumbuh (misalnya kawasan segitiga pertumbuhan), kawasan perbatasan antarnegara dan kawasan andalan. Beberapa kawasan yang potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan andalan beserta sektor unggulan di wilayah KTI telah diidentifikasi dalam strategi nasional pola pengembangan tata ruang (SNPPTR) yang kurang lebih berjumlah 55 kawasan, antara lain adalah: kawasan tanaman pangan di Sulawesi Selatan, Memberamo, Sumbawa Utara, Kendari, Gorontalo; kawasan perkebunan skala besar di Kalinmantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya; kawasan industri perkayuan dan hutan tanaman industri di Kalimantan, Sulawesi dan irian Jaya; kawasan peternakan di Nusa Tenggara dan Irian Jaya; serta kawasan perikanan di Maluku.

Dalam perkembangan selanjutnya, melalui pembahasan intensif yang dilakukan Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia (DP-KTI), telah diidentifikasikan 13 kawasan andalan yang dianggap paling mendesak untuk dikembangkan di masing-masing propinsi di kawasan timur Indonesia.

Selain itu diupayakan pula pengembangan kota-kota prioritas sebagai pusat-pusat ekonomi perkotaan dalam kawasan-kawasan andalan sebagai suatu kesatuan struktur wilayah, seperti pusat pertumbuhan wilayah nasional di Ujung Pandang, Manado, Pontianak, banjarmasin, Kupang dan Jayapura, serta pusat-pusat pertumbuhan antarwilayah di Balikpapan, Samarinda, Palangkaraya, Mataram, Dili, Ambon, Merauke, Sorong, Palu, dan Kendari.

 

Pemantapan Posisi KTI dalam menghadapi Era Perdagangan Bebas

Dalam kaitannya dengan kebijaksanaan dasar pembangunan kawasan timur Indonesia (KTI), terutama untuk memantapkan keterkaitan (linkages) dengan ekonomi global dan internasional, maka perlu diciptakan pusat-pusat pertumbuhan dan andalan di kawasan timur Indonesia yang mempunyai keterkaitan ekonomi dengan pusat-pusat pertumbuhan di luar negeri. Untuk itu, arahan penataan ruang yang telah menetapkan pusat pertumbuhan tingkat nasional (National Development Center) di kawasan timur Indonesia perlu dipertimbangkan sebagai pusat pertumbuhan nasional yang potensial yang dikaitkan dengan pusat pertumbuhan lainnya di luar negeri. Dengan mencoba memanfaatkan potensi beberapa pusat pertumbuhan yang telah ada, maka perlu dikembangkan kawasan pusat pertumbuhan di KTI seperti:

Kerjasama ekonomi regional dengan negara-negara tetangga dalam mengembangkan suatu kawasan perlu dikembangkan, seperti pada: (a) antara Kawasan Timur Indonesia bagian utara dengan Flipina bagian selatan dan Malaysia bagian timur, dalam kerangka kerjasama ekonomi regional BIMP-EAGA; (b) antara Kawasan Timur Indonesia bagian timur dengan Papua Nugini dan negara-negara di kepulauan Pasifik, dalam kerangka kerjasama ekonomi regional Arafura; (c) antara AIDA (Australia-Indonesia Development Area) Kawasan Timur Indonesia bagian selatan dengan Australia bagian utara, dalam kerangka kerjasama ekonomi regional AIDA; dan (d) antara Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat dengan Malaysia bagian Timur dan Brunei Darussalam, dalam kerangka kerjasama sosial ekonomi SOSEK MALINDO dan kerjasama ekonomi sub-regional BIMP-EAGA.

Memperhatikan keterbatasan kemampuan aparat pemerintahan di wilayah Kawasan Timur Indonesia, perlu dikembangkan sistem informasi pembangunan daerah dan pengembangan wilayah yang akurat, serta perlu dibarengi dengan kegiatan penelitian dan pengembangan wilayah secara terpadu.

Seperti kita ketahui bersama bahwa kebijaksanaan pemerintah untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya perlu diupayakan di seluruh tanah air, terutama di kawasan timur Indonesia perlu ditingkatkan sebagai perwujudan Wawasan Nusantara. Untuk keperluan tersebut pemerintah telah mengalokasikan anggaran pada tahun 1995/96 sebesar Rp.5,298 triliun untuk mengupayakan peningkatan daya tarik investasi swasta ke wilayah KTI, selain berbagai prasarana dasar yang memadai perlu disediakan pemerintah, juga penyediaan informasi dan peluang usaha yang seimbang dengan yang diperoleh para investor di wilayah KBI. Berkaitan dengan tingginya biaya investasi di kawasan timur Indonesia perlu diimbangi dengan penurunan suku bunga dan fasilitas (kemudahan) lainnya, seperti "Tax Holiday". Kebijaksanaan fiskal dan moneter yang telah memperhatikan kepentingan para pengusaha (investor) di KTI, melalui kebijaksanaan khusus yang diarahkan kepada pemberian kemudahan investasi perlu segera ditetapkan. Sejalan dengan itu dukungan pelayanan sistem transportasi (laut dan udara) yang efisien merupakan prasyarat untuk mengundang investasi swasta ke KTI.

 

Penutup

Berdasarkan penjelasan dan pembahasan di atas, dapat disimpulan disini bahwa dalam rangka menyongsong Abad 21 yang segera akan dimulai pada tiga tahun mendatang, pembangunan daerah akan lebih berorientasi kepada eksternalitas, dalam artian bahwa egiatan perekonomian daerah akan mengarah atau lebih berorientasi kepada pertumbuhan perekonomian daerah seiring dengan pemeratan hasil-hasil pembangunan di daerah untuk dapat lebih siap dan tanggap dalam pelaksanaan kerjasama perekonomian yang sifatnya eksternal (outward looking) dan internal (inward looking) secara regional.

Berdasarkan hasil pengamatan selama ini terhadap penyelenggaraan dan mekanisme pembangunan daera, sebenarnya banyak peluang yang dapat dimanfaatkan secara optimal namun terbentur dengan kendala dan batasan regulasi yang tidak mendukung. Seperti dalam rangka pengembangan bidang kerjasama yang direkomendasikan oleh ADB, perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam yang akan lebih men’justifikasi’ arahan perlunya deregulasi yang lebih luas untuk mendukung pengembangan sektor-sektor produksi unggulan tertentu yang potensial.

Dalam kaitannya dengan upaya penciptaan regulasi yang mendukung penumbuhkembangan beberapa kerjasama subregional ASEAN yang telah ditemukenali dan dikembangkan dalam satu dekade terakhir ini, terutama yang terkait dengan deregulasi dalam bidang fiskal dan moneter seperti melalui pemberian fasilitas ‘tax holiday’, sebenarnya beberapa upaya yang sejalan telah dan sedang dilakukan Pemerintah. Upaya tersebut antara lain ditunjukkan seperti dalam pengkajian kemungkinan penghapusan hambatan non tarif bagi perdagangan lintas batas negara, penyederhanaan prosedur pemeriksanaan bea dan cukai, serta pemberian kemudahan prosedural bagi para pelintas batas.