PENGEMBANGAN KAWASAN DALAM RANGKA PENGENTASAN KEMISKINAN
 

Pendahuluan

Sesuai dengan amanat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, bahwa "Pertumbuhan ekonomi telah pula memungkinkan terjadinya pemerataan pembangunan sehingga rakyat telah makin menikmati hasil-hasilnya serta lebih aktif terlibat dalam upaya pembangunan. Dalam pembangunan Jangka Panjang Pertama, pembangunan telah menyebar di seluruh penjuru tanah air dan jumlah rakyat yang hidup di dalam kemiskinan telah sangat banyak berkurang. Upaya untuk lebih memeratakan pembangunan serta menghilangkan kemiskinan dan keterbelakangan masih perlu dilanjutkan dan ditingkatkan." Amanat GBHN 1993 di atas secara tegas telah menyatakan bahwa orientasi pembangunan ditekankan kepada pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; sebagaimana tercermin di dalam urutan trilogi pembangunan baik dalam Repelita V maupun dalam Repelita VI.

Sejalan dengan tujuan pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan tersebut di atas, maka sejak dari awal Repelita V telah dicanangkan Program Pengembangan Wilayah Terpadu; atau yang lebih dikenal dengan PPWT. Pendekatan PPWT ini pada hakekatnya merupakan upaya penanggulangan di wilayah-wilayah khusus di perdesaan dan permukiman kumuh perkotaan yang bersifat lintas sektoral dan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah yang relatif tertinggal. Pelaksanaan PPWT mengacu pada Inmendagri No. 14 tahun 1990 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pengembangan Wilayah Terpadu dalam rangka Pembangunan Daerah, dan Surat Mendagri No. 050/1402/Bangda tanggal 5 Juni 1993 perihal Panduan Operasional Inmendagri No. 14 Tahun 1990.
 
 

PPWT sebagai Pendekatan Program Pembangunan Daerah Tingkat II

Pelaksanaan PPWT dilakukan dengan melalui peningkatan dan pengembangan kualitas kemampuan sumberdaya manusia melalui berbagai bentuk pelatihan dan praktek kerja serta transformasi teknologi bagi masyarakat yang menjadi kelompok sasaran untuk meningkatkan ketrampilan dan keahlian dalam berbagai bidang yang diperlukan sesuai tuntutan kebutuhan permintaan pasar di daerah. Kegiatan ini dapat diikuti dengan pemberian fasilitas peralatan dan permodalan yang harus dikembangkan dalam bentuk dana bergulir (revolving fund). Selain itu, PPWT juga dilaksanakan dengan berbagai fokus pengembangan seperti:

1) pengembangan wilayah kepulauan,
2) pengembangan konservasi lahan kritis,
3) pengembangan kawasan penyangga,
4) pengembangan sosial budaya pembinaan masyarakat terasing, dan
5) pengembangan wilayah perbatasan.
 
Dalam implementasinya, pendekatan PPWT digunakan untuk menangani beberapa program pembangunan khusus sebagai berikut:

 

Konsepsi dasar pendekatan PPWT

Pengertian terpadu yang dimaksud dalam penanganan yang terpadu tersebut adalah bahwa pelaksanaan program dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang bersifat multi sektor dalam memecahkan permasalahan utama kawasan yang bersangkutan. Pada dasarnya terdapat tiga aspek penting yang menjadi sasaran utama program PPWTT, yaitu:

Secara populer ketiga sasaran pokok tersebut dapat dikatakan sebagai (i) bina manusia, (ii) bina lingkungan, dan (iii) bina wilayah.

Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran program, maka pelaksanaan PPWT pada umumnya ditekankan pada daerah-daerah yang belum terjangkau oleh program-program pembangunan, namun dapat juga digunakan untuk menangani permasalahan yang timbul akibat adanya pelaksanaan program pembangunan berskala besar di suatu daerah. Untuk mencapai sasaran program PPWT, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pengembangan wilayah secara terpadu yang disesuaikan menurut permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing kawasan atau daerah. Jadi jelas bahwa penanganan program PPWT tidaklah secara sektoral, melainkan lintas sektoral yang ditangani secara terpadu dengan pendekatan perwilayahan.

Pelaksanaan program PPWT sepenuhnya melibatkan pemerintah daerah tingkat II dan masyarakat dengan memberikan peluang yang lebih besar kepada lembaga swadaya masyarakat, kaum wanita, kaum muda dan organisasi masyarakat lainnya untuk dapat berperanserta. Diharapkan dengan cara tersebut, hasil pelaksanaan PPWT akan secara langsung dapat meningkatkan kemampuan masyarakat, merangsang perkembangan sosial ekonomi masyarakat dan mendorong serta mempercepat perkembangan wilayah yang ditangani. Di lain pihak, bagi aparat pemerintah daerah tingkat II hal ini secara langsung akan meningkatkan kemampuan mereka dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di daerahnya masing-masing, sesuai dengan kebijaksanaan dan strategi pembangunan daerah serta kebutuhan riil masyarakat setempat. Para aparat pemda tingkat II juga diharapkan dapat meningkatkan kemampuannya, khususnya dalam latihan (exercise) mengkoordinasikan berbagai instansi teknis yang terlibat dalam pelaksanaan program PPWT di daerahnya masing-masing.

Program PPWT diberikan dalam bentuk bantuan proyek-proyek yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan penghasilan, kemampuan berusaha, dan meringankan beban hidup masyarakat berpenghasilan rendah. Disamping itu juga dapat diberikan dalam bentuk modal dasar (initial capital) kepada masyarakat untuk dapat mengembangkan kegiatan perekonomian mereka secara berkelanjutan melalui sistem perguliran (revolving), serta bantuan prasarana/sarana fisik penunjang peningkatan produksi, pemasaranan produksi, dan perbaikan lingkungan hidup.
 

Kriteria PPWT

Sesuai dengan sasaran pokok kegiatannya, PPWT pada dasarnya antara lain dapat dialokasikan kepada kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

Berkenaan dengan upaya untuk mewujudkan hal-hal tersebut di atas, beberapa jenis kegiatan yang dapat dilaksanakan antara lain adalah: (i) peningkatan produksi, (ii) peningkatan sumberdaya manusia, (iii) penguatan kelembagaan, (iv) pengembangan usaha, (v) peningkatan prasarana dan sarana fisik sederhana, dan (vi) peningkatan landasan sumberdaya alam dan kualitas lingkungan hidup.

Pada hakekatnya pemilihan sasaran PPWT diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah tingkat II. Dalam rangka mempermudah koordinasi penanganan program tersebut, perlu dibentuk kelompok kerja (pokja) yang terdiri atas dinas/instansi terkait di tingkat II yang disesuaikan dengan program kegiatan yang dilakukan secara lintassektoral tersebut. Kelompok kerja tersebut diharapkan dapat dikoordinasikan oleh Bappeda Tingkat II dan Biro Penyusunan Program Setwilda Tingkat II, yang perlu terus diperkuat kemampuan aparatur dan kelembagaannya untuk mampu menjamin keterpaduan, kelangsungan dan kesinambungan program, terutama dalam mengkaitkan pembiayaan PPWT dengan kegiatan program pembangunan lainnya yang dilaksanakan di daerahnya masing-masing, baik program sektoral, regional, khusus, maupun yang ber-BLN.
 

PPWT sebagai upaya terobosan strategi pembangunan wilayah tertinggal dan pengentasan kemiskinan di daerah tingkat II

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, ditinjau dari konsep, kriteria dan sasaran pokoknya, pada prinsipnya PPWT telah dirancang secara khusus dan diarahkan kepada upaya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada daerah-daerah yang relatif masih tertinggal. Sedangkan dikaitkan dengan jenis kegiatan-kegiatan pokoknya, yang tercermin di dalam "tiga bina" tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya program ini memang tidak saja diarahkan kepada upaya peningkatan harkat hidup dan kesejahteraan masyarakat (bina manusia), akan tetapi memperhatikan pula perlunya pengembangan wilayah melalui peningkatan produksi dan ketersediaan prasarana pendukungnya (bina wilayah), serta sekaligus dengan tidak mengabaikan perlu dipertimbangkannya kualitas lingkungan hidup (bina lingkungan).

Berdasarkan sasaran pokok PPWT di atas, dapat dilihat bahwa penekanan yang lebih besar kepada satu program kegiatan dibandingkan dengan yang lainnya, sangatlah tergantung dari permasalahan dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing kawasan/wilayah secara spesifik. Akan tetapi mengingat kebutuhan pendanaan antara satu jenis kegiatan dengan jenis kegiatan lainnya sangatlah berbeda, dengan penyerapan terbesar biasanya kepada kegiatan fisik dan produksi, maka perbedaan jumlah alokasi dana bukanlah merupakan acuan mengenai jenis kegiatan yang diprioritaskan.

Dengan mempertimbangkan banyaknya program kegiatan yang dapat dicakup PPWT, sudah barang tentu memberikan konsekuensi relatif kecil dan meratanya (tersebarnya) alokasi dana yang dapat disediakan bagi suatu program kegiatan tertentu. Berkenaan dengan terbatasnya alokasi dana yang disediakan untuk beragam kegiatan dalam satu wilayah dati II, maka jelas bahwa pada prinsipnya PPWT ini diarahkan kepada penanganan permasalahan dari beberapa aspek yang ada di kawasan/wilayah tertentu, dengan penanganan yang terpadu dan menyeluruh.

Mengingat beragam dan tersebarnya program kegiatannya, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya PPWT sangat berorientasi kepada strategi pemerataan pembangunan. Pemerataan disini dapat diartikan berorientasi sektoral, apabila dikaitkan dengan beragamnya dan tersebarnya jenis kegiatan dalam suatu wilayah dati II; sedangkan bila diartikan berorientasi regional, yang berkenaan dengan upaya suatu wilayah kabupaten/kotamadya untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan dari suatu kawasan tertentu agar dapat memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih meningkat. Sejalan dengan itu, apabila dikaitkan dengan kegiatan peningkatan produksi yang diberikan PPWT, dirasakan perlu adanya suatu upaya penyeleksian dan pemberian prioritas yang lebih baik bagi penentuan kegiatan-kegiatan yang sifatnya produktif.

Sebagai antisipasi terhadap jangka waktu pencapaian sasaran PPWT yang relatif bersifat multi-years, maka jelas kesinambungan program hanya dapat terjadi apabila masyarakat setempat (kecamatan dan Dati II) dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam rangka tindak lanjut pelaksanaan kegiatan PPWT ini. Oleh karena itu, memang sangat beralasan apabila kegiatan yang dilaksanakan melalui pendekatan PPWT ini kita anggap hanya sebagai perangsang (stimulan) bagi suatu kegiatan lanjutan yang diharapkan dapat dikembangkan di dalam dan oleh masyarakat sendiri.

Selanjutnya apabila dikaitkan dengan jenis-jenis kegiatan yang berskala kecil, baik yang sifatnya fisik maupun non fisik, PPWT memberikan kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat setempat untuk dapat terlibat secara langsung dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang diperlukan pada suatu kawasan tertentu. Dengan dilibatkannya masyarakat secara intensif dan ekstensif kepada satu atau lebih kegiatan tertentu, maka secara tidak langsung akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Sebagai contohnya dapat dikemukakan disini seperti kegiatan pembangunan prasarana jembatan desa sederhana yang dilakukan secara swakelola, partisipasi masyarakat akan sangat mendukung penyelesaian pekerjaan, selain dari mereka sendiri juga memperoleh tambahan penghasilan yang berasal dari upah bekerja pembangunan jembatan tersebut. Jadi terlihat setidaknya terdapat tiga aspek positif terhadap masyarakat setempat yang dapat dipelajari dari contoh pelaksanaan pekerjaan secara swakelola tersebut, yakni:

Apabila dikaitkan dengan kegiatan peningkatan produksi yang diterimakan kepada masyarakat miskin yang potensial dan produktif (MPP), dirasakan perlu adanya suatu penseleksian yang lebih baik bagi penentuan kelompok sasaran penerima bantuan. Hal tersebut sangat perlu dilakukan mengingat penerimaan bantuan yang sifatnya bersyarat tersebut kesinambungannya hanya dapat dilaksanakan apabila kelompok penerima bantuan pertama itu dapat memelihara untuk selanjutnya digulirkan kepada kelompok kedua dan selanjutnya. Sebagai contohnya disini dapat dikemukakan bantuan ternak yang digunakan untuk dapat meningkatkan produksi dan pendapatan peternak, hanya dapat dijamin kesinambungannya dengan penerapan sistem perguliran (revolving) dari kelompok penerima pertama dan kedua dan seterusnya.

Sebagai antisipasi terhadap jangka waktu pelaksanaan bantuan yang hanya satu tahun, dihadapkan pada waktu pelaksanaan riil kegiatan yang pada umumnya membutuhkan waktu lebih dari satu tahun, maka jelas kesinambungan program hanya dapat terjadi apabila pemerintah daerah setempat (kecamatan dan Dati II) dapat memberikan kontribusi pendanaan dalam rangka tindak lanjut pelaksanaan kegiatan PPWT ini. Oleh karena itu memang sangat beralasan apabila pelaksanaan PPWT di suatu daerah dapat dianggap hanya sebagai perangsang (stimulan) bagi suatu kegiatan tertentu, dengan jumlah bantuan yang relatif kecil dan tersebar, sehingga dalam tahap lanjutan dari masing-masing kegiatan, kontribusi pendanaan tidak begitu memberatkan pihak daerah.

Beberapa ilustrasi di atas setidaknya dapat mencerminkan bahwa PPWT mencoba untuk mengupayakan strategi pemerataan kegiatan (pembangunan) sektoral yang dilakukan secara terpadu (lintas sektoral) dengan menggunakan pendekatan perwilayahan.
 

Keterlibatan Pemerintah Daerah Tingkat II dalam pengelolaan PPWT

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa PPWT ini merupakan program pembangunan yang dirancang secara khusus untuk skala ekonomi kawasan tertentu di wilayah dati II. Di lain pihak, kawasan yang terpilih biasanya merupakan kawasan yang relatif terbelakang namun potensial, sehingga menciptakan konsekuensi besarnya rentang dan banyaknya jenis kegiatan yang dibutuhkan kawasan yang bersangkutan. Untuk itu, dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan jumlah dana yang relatif besar dengan beragamnya jenis kebutuhan (needs) dari masing-masing kawasan, maka diperlukan adanya pemberian prioritas dari beragam jenis kegiatan yang dibutuhkan.

Prioritas usulan kegiatan untuk suatu kawasan tertentu, yang mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masing-masing kawasan, secara riil hanya diketahui oleh kawasan yang bersangkutan. Untuk itu pada hakekatnya kegiatan yang dibiayai melalui pendanaan PPWT diharapkan dapat memenuhi aspirasi dan kebutuhan dari masyarakat daerah/kawasan yang bersangkutan. Mekanisme dan prosedur perencanaan program PPWT sendiri secara jelas juga telah mengemukakan bahwa usulan kegiatan PPWT yang diajukan kepada pemerintah dati II haruslah berasal dari bawah (bottom-up) dengan seleksi bertahap yang dilakukan di tingkat desa dan tingkat kecamatan secara berurutan, sesuai dengan tahapan perencanaan dalam P5D.

Dari mekanisme dan prosedur perencanaan tersebut jelas terlihat bahwa pemda tingkat II merupakan tingkat pemerintahan yang paling kompeten untuk merencanakan PPWT untuk program dan kawasan tertentu yang akan mendapatkan alokasi PPWT yang berada di wilayahnya masing-masing.

Sebagai suatu instansi perencana, Bappeda Tingkat II diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar kepada setiap tahap pengelolaan PPWT ini, utamanya dalam tahap perencanaannya. Di dalam tahap perencanaan dan sekaligus persiapan pelaksanaannya, Bappeda Tingkat II dengan dibantu secara teknis oleh instansi-instansi teknis terkait di dati II melakukan penseleksian dan pemrioritasan serta penyempurnaan dari usulan yang diajukan tingkat desa dan kecamatan yang berada di wilayahnya masing-masing. Untuk itu dalam tahap persiapan dan perencanaan ini perlu dilakukan koordinasi dan konsultasi yang intensif antara instansi teknis terkait dengan pihak kecamatan melalui koordinasi Bappeda Tingkat II.

Pada tahap pelaksanaan kegiatan PPWT, Bappeda Tingkat II selaku instansi di tingkat II yang melaksanakan fungsi koordinasi instansi teknis terkait, kembali harus melakukan tahap lanjutan dari fungsi pengelolaan (manajemen) PPWT, yakni pemantauan dan supervisi terhadap pelaksanaan proyek di tingkat kecamatan; terutama untuk mendapatkan laporan status kemajuan fisik dan realisasi daya serap keuangan yang telah dilaksanakan oleh pelaksana proyek.
 

Kinerja Perkembangan Pelaksanaan PPWT

Secara historis, sebenarnya pendekatan pengembangan wilayah terpadu (integrated area development/IAD) sendiri tercipta setelah dilaksanakannya beberapa proyek pembangunan wilayah propinsi yang mendapatkan bantuan luar negeri pada dekade 1980-an, seperti (i) proyek Provincial Development Project (PDP) yang pelaksanaannya memperoleh bantuan dari USAID, (ii) proyek Yogyakarta Rural Development yang berbantuan Bank Dunia, (iii) proyek Sulawesi Regional Development yang berbantuan Pemerintah Canada (CIDA), (iv) proyek Nusa Tenggara Timur Integrated Area Development (NTTIADP) yang berbantuan Pemerintah Australia (AIDAB), dan (v) proyek Cendrawasih Coastal Area Development (CCAD) yang berbantuan UNDP. Pemantauan dan evaluasi yang dilakukan pihak Departemen Dalam Negeri terhadap pelaksanaan proyek-proyek dengan pendekatan IAD tersebut menunjukkan kinerja yang sangat memuaskan, sehingga pendekatan PPWT dianggap yang paling sesuai untuk diterapkan dalam rangka pembangunan wilayah dan sekaligus menanggulangi kemiskinan pada wilayah yang bersangkutan.

Pada dasarnya, penjabaran PPWT di lapangan selama Repelita V diimplementasikan ke dalam bentuk berbagai program pengembangan wilayah yang berorientasi pada upaya pengembangan kawasan-kawasan yang relatif masih tertinggal dan sekaligus mengupayakan percepatan penanggulangan kemiskinan. Salah satu program implementasi pendekatan PPWT yang dilaksanakan selama Repelita V adalah Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT).

Program PKT yang mulai dilaksanakan pada awal Repelita V, tepatnya pada TA 1989/90, telah berkembang dari tahun ke tahun, baik dari segi jumlah dana maupun dari jumlah kawasan yang ditangani. Pada TA 1989/90 sebagai 'pilot project' telah dialokasikan dana bagi program PKT sebesar Rp2,4 milyar, yang digunakan untuk menangani 12 kawasan terpilih pada 12 propinsi. Hasil pemantauan dan evaluasi yang telah dilaksanakan terhadap pelaksanaan PKT pada 12 kawasan terpilih tersebut menunjukkan bahwa program PKT dapat secara optimal mencapai sasaran dan tujuan dalam rangka mengembangkan kawasan tertinggal dan sekaligus menanggulangi/mengentaskan kemiskinan pada kawasan-kawasan tertinggal tersebut. Dari sudut pengelola, pemerintah daerah penerima juga telah memberikan respon yang sangat baik dan positif. Pemerintah daerah menganggap bahwa program PKT ini dapat menyentuh kawasan yang selama ini relatif kurang mendapatkan perhatian dan alokasi proyek-proyek pembangunan sektoral yang bersifat konvensional. Dirasakan pula bahwa program PKT ini telah memberikan kesempatan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan potensi yang mereka miliki.

Dengan mempertimbangkan hasil pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan program PKT pada TA 1989/90 tersebut, pada tahun 1990/91 Pemerintah Pusat telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp35 milyar yang digunakan untuk membiayai program PKT pada 112 kawasan yang tersebar pada 97 kabupaten di 26 propinsi. Pada tahun anggaran berikutnya, 1991/92, jumlah anggaran yang dialokasikan berjumlah Rp70 milyar, yang berarti telah mengalami kenaikan dua kali lipat dibandingkan tahun anggaran sebelumnya, yang dialokasikan kepada 215 kawasan terpilih yang tersebar pada 147 daerah tingkat II di 27 propinsi.

Selanjutnya, dengan didasarkan pada pengalaman pelaksanaan pada tiga tahun sebelumnya yang dinilai telah berhasil memberikan sumbangan yang cukup besar bagi sasaran pengentasan kemiskinan pada kawasan-kawasan yang relatif tertinggal tersebut, Pemerintah Pusat memberikan alokasi yang lebih besar lagi bagi program PKT ini, sebagaimana tersirat di dalam pidato Bapak Presiden RI di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengantar nota keuangan dan RAPBN 1992/93, dimana pada TA 1992/93 Pemerintah Pusat telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp160 milyar yang secara nasional telah dialokasikan pada 480 lokasi kecamatan pada 253 daerah tingkat II di 27 propinsi. Peningkatan anggaran sebesar lebih dari dua kali lipat tersebut menunjukkan besarnya perhatian Pemerintah Pusat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan kawasan pada daerah-daerah yang relatif terbelakang. Peningkatan jumlah anggaran tersebut setidaknya juga mengindikasikan kepada kita bahwa orientasi pemerataan pembangunan dalam rangka pengentasan kemiskinan masih terus akan diprioritaskan oleh Pemerintah. Dari pelaksanaan program PKT, secara keseluruhan telah dapat ditangani sekitar 850 kawasan yang mencakup kurang lebih 4.100 desa di seluruh propinsi, dengan melibatkan secara langsung sekitar 210 ribu KK dan secara tidak langsung sekitar 140 ribu KK di sekitar lokasi proyek.

Pada perkembangan berikutnya, sebagaimana telah kita ketahui bersama, program PKT dihentikan pada TA 1993/94, dimana strategi dan pendekatannya dikembangkan dan disempurnakan ke dalam program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dikhususkan sebagai upaya percepatan penanggulangan kemiskinan, yang dilakukan secara terpadu dengan mengkoordinasikan semua program pembangunan sektoral, regional dan khusus yang ditujukan untuk penanggulangan kemiskinan.

 
Isu dan permasalahan pelaksanaan PPWT

Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi yang telah dilakukan terhadap pelaksanaan PPWT, khususnya program PKT, dapat dikemukakan disini bahwa beberapa isu yang menonjol untuk dijadikan pertimbangan perlunya penyempurnaan terhadap strategi dasar program PKT.

Pada umumnya, kegiatan PKT yang telah dilaksanakan pada sekitar 850 kawasan kecamatan di 253 kabupaten di seluruh Indonesia 1992/93 masih relatif sangat berorientasi pada kegiatan pembangunan prasarana dan sarana fisik, utamanya prasarana jalan, dan beberapa prasarana dan sarana fisik lainnya seperti irigasi sederhana dan air bersih. Sedangkan kegiatan lainnya yang juga cukup menonjol adalah pengembangan tanaman pangan, perkebunan dan pengembangan ternak kecil dan besar.

Pemahaman terhadap pola perguliran masih kurang dipahami oleh para pengelola proyek, yang tidak hanya terkait dengan kegiatan peternakan, namun juga pada kegiatan lainnya seperti perikanan dan perkebunan. Pola perguliran yang diterapkan kepada kelompok sasaran selain ternak, pada umumnya dilakukan secara 'trial and error' tanpa konsep yang jelas, yang antara lain dilakukan dengan menggunakan pola penarikan iuran dari individu/kelompok penerima bantuan pertama, untuk selanjutnya akan dijadikan modal bagi pembelian bibit (tanaman perkebunan dan/atau ikan) yang akan digulirkan kepada individu/kelompok penerima berikutnya, dan seterusnya. Mekanisme perguliran semacam ini, sebagai konsekuensinya, membutuhkan pembinaan dan pengawasan yang terus menerus oleh aparat pembina/penyuluh teknis yang ada di tingkat kabupaten ataupun kecamatan, serta dari para KPD dan kader teknis yang ada di tingkat desa, untuk secara berkesinambungan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap masyarakat dan individu kelompok sasaran.

Kegiatan pembangunan prasarana dan sarana fisik yang menyerap sebagian besar dana PKT di masing-masing kawasan ini, sebagian besar dikerjakan secara swakelola oleh Dinas PU kabupaten, dengan secara maksimal telah memanfaatkan peranserta masyarakat setempat serta material yang berasal dari kawasan yang bersangkutan. Pekerjaan fisik yang dilakukan tidak secara swakelola dan ditenderkan kepada pelaksana (kontraktor) lokal pada beberapa kawasan, disebabkan karena medannya yang berat sehingga tidak memungkinkan penggunaan peralatan yang dimiliki DPUK; seperti yang dilakukan pada pembangunan ruas jalan di beberapa kabupaten di luar Jawa, mengingat kondisi topografinya yang relatif sulit ditangani peralatan sederhana yang dimiliki DPUK setempat.

Komitmen penyediaan pendamping bagi alokasi dana PKT dari Pusat ini nampaknya belum sepenuhnya dipahami oleh sebagian besar pengelola proyek di berbagai kabupaten maupun di tingkat propinsi, yang ditunjukan dengan masih belum dialokasikannya dana pendamping dari APBD ataupun Inpres terhadap dana PKT, baik bagi tahap persiapan (perencanaan) dan pelaksanaan maupun pada tahap pasca-pelaksanaan proyek. Kondisi ini setidaknya menunjukan masih relatif rendahnya komitmen daerah terhadap keberhasilan dan efektifitas pelaksanaan kegiatan PKT di daerahnya masing-masing, yang mungkin belum menyadari besarnya peluang terjadinya "proyek pasar malam" tanpa adanya komitmen dana daerah bagi keberlanjutan program di tingkat masyarakat (pasca-proyek). Pembinaan yang berkesinambungan terhadap operasionalisasi dan pemeliharaan program di tingkat masyarakat (lapangan), akan sangat tergantung dari peranserta masyarakat untuk menjaga dan memelihara kegiatan yang telah dimulai dan dibangun melalui dana PKT, yang secara tidak langsung juga akan sangat tergantung dari ketersediaan dana keberlanjutan yang diperuntukan bagi para aparat pembina dan penyuluh di tingkat kabupaten dan kecamatan serta desa.

Berkenaan dengan tahap perencanaan dan penseleksian kawasan terpilih, sebagian besar kabupaten telah mengacu pada Kerangka Pembangunan Strategis (KPS) dengan sekaligus mempertimbangkan informasi potensi desa terpilih dan tingkat pendapatan kecamatan relatif terhadap PDRB kabupaten. Sedangkan dalam kaitannya dengan perencanaan kegiatan yang diajukan untuk memperoleh pendanaan PKT, berdasarkan informasi yang diperoleh dari para Pinpro, ternyata menunjukan belum dipadukannya kegiatan perencanaan PKT dengan kegiatan perencanaan tahunan yang dilakukan dari tingkat desa (Musbang), kecamatan (Temu Karya UDKP), dan kabupaten (Rakorbang II), serta Propinsi (Rakorbang I). Pada umumnya usulan PKT yang diajukan oleh masing-masing kabupaten merupakan 'dispute projects' yang tidak dapat tertampung dalam forum-forum perencanaan tahunan tersebut, sehingga walaupun memang berasal dari bawah (bottom-up) dan merupakan aspirasi dan kebutuhan yang nyata dari masyarakat, namun PKT nampaknya masih dianggap sebagai suatu program khusus yang dirancang untuk menampung "kegiatan buangan" yang tidak dapat ditampung dalam program pembangunan yang ada (DIP, Inpres, DIPDA), dan belum dianggap sebagai program "kunci" (key programs) yang sejajar dan saling melengkapi dengan program-program pembangunan lainnya.

Penyiapan kelompok sasaran penerima bantuan pada umumnya dilakukan setelah turunnya dana PKT, dan tidak dilakukan dengan sekaligus menetapkan kelompok penerima guliran dari kelompok penerima bantuan pertama. Dikhawatirkan penunjukan kelompok penerima guliran secara bertahap akan mengakibatkan kurangnya komitmen 'social-control' dari masyarakat sendiri terhadap kelompok penerima bantuan PKT, sehingga peluang keterlambatan dan ketidakberhasilan perguliran akan menjadi semakin besar.

Selanjutnya berkenaan dengan komplementaritas dan sinkronisasi antara program PKT dengan program pembangunan lainnya yang dilaksanakan di masing-masing daerah, nampaknya juga masih belum diperhatikan untuk dipertimbangkan oleh aparat pemerintah daerah yang terkait. Hal ini ditunjukan dengan belum terpadunya pengajuan usulan PKT dengan pengajuan usulan proyek lainnya yang dibiayai melalui dana Inpres ataupun APBD. Seperti pada pengajuan usulan ruas jalan melalui IPJK misalnya, belum mempertimbangkan ruas jalan yang telah dibangun oleh PKT yang masih perlu ditingkatkan kondisinya agar dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat setempat. Khususnya bagi prasarana dan sarana fisik yang telah dibangun melalui program PKT, tanpa adanya komitmen dari Pemda untuk dapat memelihara dan meningkatkan kondisinya melalui dana daerah, yang relatif sangat sulit diharapkan dari masyarakat (karena dananya yang relatif besar), maka optimalisasi pelayanan prasarana dan sarana tersebut terhadap masyarakat akan mengalami penurunan (degradasi) kualitasnya.

 

Penutup

PPWT sebagai suatu program yang diarahkan bagi pemerataan pembangunan dan percepatan pembangunan wilayah dati II, perencanaannya didasarkan pada kebutuhan nyata dari program prioritas dan kawasan yang terpilih, serta sepenuhnya dikelola dan dilaksanakan oleh instansi/aparat daerah bersama-sama dengan masyarakat setempat. Dengan tetap berprinsip pada proses perencanaan dari bawah (bottom-up) yang relatif lebih 'needs oriented', maka jelas bahwa peranan instansi Bappeda Tingkat II sebagai instansi perencana di daerah tingkat II sangat penting dalam keberhasilan PPWT ini.

Dengan demikian dapatlah kita simpulkan bahwa Bappeda Tingkat II sangat vital peranannya dalam pengelolaan PPWT di daerahnya masing-masing. Dapat dilihat pula bahwa sejak dari tahap perencanaan, persiapan pelaksanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan supervisi ke tingkat kawasan, Bappeda Tingkat II sangat dituntut peranan aktifnya. Dikaitkan dengan rencana peletakan titik berat otonomi pada daerah tingkat II, sebagaimana telah diamanatkan dalam PP No. 45 Tahun 1992, maka PPWT ini paling tidak dapat dijadikan latihan (exercise) bagi Pemda Tingkat II untuk menyongsong terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan dalam Repelita VI ini.

Selain itu, dikaitkan dengan pelaksanaan program-program pembangunan lainnya di daerah, baik program sektoral, regional, maupun program khusus lainnya seperti Program IDT, PPWT sangat diharapkan dukungannya. Sumber pendanaan PPWT dari APBD Tingkat II, memberikan lebih keleluasaan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II di dalam menentukan arahan alokasi anggaran untuk dapat menjadi modal awal (initial capital), dana pendukung (supplementary fund), dana pelengkap (complementary fund), atau dana lanjutan (sustaining fund) bagi kegiatan yang dibiayai oleh program-program sektoral, regional, dan khusus, serta BLN yang dilaksanakan di daerah tingkat II.

 
Yogyakarta, 21 April 1995