UJI COBA OTONOMI DAERAH TINGKAT II:
TANTANGAN DESENTRALISASI

 
 

PENDAHULUAN

Dengan dicanangkannya uji coba pelaksanaan otonomi daerah tingkat II oleh Bapak Presiden RI pada tanggal 25 April 1995 ini, kita dapat bernapas lega bahwa setelah 21 tahun lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah akhirnya kita dapat melihat semakin kuatnya komitmen Pemerintah di dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.

Dirasakan selama 21 tahun terakhir ini, otonomi daerah dianggap beberapa kalangan sebagai "macan ompong", walaupun sebenarnya pemerintah telah berupaya untuk dapat mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah, antara lain dengan mengeluarkan PP No. 45 Tahun 1992 tentang peletakan titik berat ototnomi pada daerah tingkat II. Pada tahap selanjutnya, dengan dikeluarkannya Kepmendagri No. 105 Tahun 1994 tentang uji coba pelaksanaan otonomi pada daerah tingkat II percontohan yang dimulai pada awal tahun anggaran 1995/96 ini, terlihat semakin mantapnya proses perwujudan otonomi daerah. Walaupun sebenarnya masih terdapat beberapa peraturan pendukung dan penjabaran UU No. 5 Tahun 1974 yang masih "pending" hingga sekarang, antara lain (i) undang-undang tentang hubungan keuangan pusat dan daerah, (ii) undang-undang tentang pajak dan retribusi daerah, dan (iii) peraturan pemerintah tentang organisasi dan hubungan kerja perangkat pemerintah di daerah.

Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Untuk itu daerah yang bersangkutan perlu diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang antara lain melalui penyerahan urusan dan wewenang pemerintahan kepada pemerintah daerah, yang sedapat mungkin sekaligus dengan disertai penyerahan 3 P (pembiayaan, personil, dan perangkat/kelembagaan).

Disamping hal-hal tersebut pemberian urusan kepada daerah perlu didasarkan pada hal-hal yang memang nyata-nyata diperlukan daerah, serta nyata-nyata sesuai dengan keadaan daerah yang bersangkutan. Misalnya suatu daerah yang tidak memiliki potensi kehutanan, tidak akan diserahkan urusan mengenai kehutanan. Oleh sebab itu isi otonomi daerah baik mengenai jumlah dan jenisnya diantara daerah-daerah, tidaklah sama. Disamping itu harus diyakini bahwa daerah yang bersangkutan secara nyata akan mampu dan bahkan berkembang dalam menangani urusan itu. Sehingga dengan demikian pemberian urusan kepada daerah senantiasa diselaraskan antara keadaan dan kebutuhan daerah dengan kepentingan nasional, dalam arti selalu diperhitungkan dalam kerangka kebijaksanaan nasional. Akhirnya didapat suatu keyakinan dan jaminan bahwa suatu urusan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna, bila ditangani secara nyata oleh daerah sebagai urusan rumah tangganya.

 

ISU PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama ini terlihat bahwa masih terdapat beberapa isu dan permasalahan yang dihadapi dalam perwujudan otonomi daerah yang dicita-citakan, antara lain: (i) belum mantap dan masih beragamnya persepsi tentang otonomi daerah, baik diantara instansi pusat maupun daerah; (ii) status sebagian daerah otonom warisan kolonial yang ada sekarang sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai suatu daerah otonom; (iii) relatif "miskin"nya peraturan pelaksanaan dan penjabaran UU No. 5/1974 yang telah diterbitkan; (iv) tingkat kemampuan daerah masih jauh dari yang diharapkan, yang terutama kemampuan kauangan daerah selama ini masih cenderung "tergantung" pada pemerintah pusat; (v) pengorganisasian unit-unit pemerintahan di daerah belum sepenuhnya menunjang terlaksananya otonomi daerah, termasuk belum mantapnya sistem mutasi dan karier pegawai daerah; dan (vi) sudah relatif "usangnya" beberapa ketentuan tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang tertentu kepada daerah yang diterbitkan pada sekitar tahun 50-an.

Khususnya untuk daerah tingkat II yang akan diberikan fokus titik berat pelaksanaan otonomi, hingga saat ini baru diserahkan 6 hingga 9 urusan dari 19 urusan dan wewenang pemerintahan yang telah diserahkan pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah. Dengan uji coba pelaksanaan otonomi pada 26 daerah tingkat II percontohan, akan semakin banyak dan beragam urusan dan wewenang pemerintahan yang akan menjadi tanggung jawab instansi otonom di masing-masing daerah tingkat II. Desentralisasi urusan dan wewenang tersebut, juga akan memberikan implikasi terhadap jumlah dinas otonom yang diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 26 hingga 28 dinas di daerah tingkat II.

Secara umum, beberapa permasalahan yang dapat ditemukenali dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BEBERAPA IMPLIKASI PELAKSANAAN UJI COBA OTONOMI DAERAH TINGKAT II

Walaupun uji coba pelaksanaan otonomi pada 26 daerah tingkat II percontohan hanya akan menghasilkan beberapa prototipe daerah tingkat II yang akan diberikan perlakukan desentralisasi yang berbeda, dengan fokus perhatian pada aspek tatanan urusan yang akan didesentralisasikan, aspek struktur kelembagaan dan personil, serta aspek pembiayaan pembangunan daerah, namun perlu dipertimbangkan beberapa implikasi pelaksanaan uji coba otonomi pada 26 daerah tingkat II sebagai berikut: (i) implikasi status daerah otonom, (ii) implikasi beban pembiayaan pemerintah daerah, (iii) implikasi restrukturisasi kelembagaan dan struktur organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan (iv) implikasi restrukturisasi anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Implikasi yang pertama, dalam kaitannya dengan rencana eavluasi pelaksanaan uji coba otonomi pada 26 daerah tingkat II percontohan setelah 2 tahun, perlu dipertanyakan apakah akan adan pengaruhnya terhadap status otonom daerah tingkat II yang bersangkutan. Hal ini terutama akan berpengaruh pada daerah-daerah tingkat II yang berdasarkan hasil evaluasi menunjukkan belum/tidak layak sebagai suatu daerah yang berstatus otonom. Nampaknya hasil evaluasi tersebut perlu dipertimbangkan secara lebih cermat dan bijaksana, mengingat status yang dimiliki suatu daerah otonom memiliki 'nilai politis (political value)' yang lebih berat bobotnya dibandingkan dengan sekedar 'nilai teknis (technical value)' yang lebih mudah untuk dipertimbangkan kemungkinan penerapannya.

Sebenarnya dampak uji coba pada 26 daerah tingkat II percontohan belum akan memberikan implikasi terhadap penyesuaian status otonomi daerah-daerah tingkat II percontohan, mengingat bahwa pemilihan 26 daerah tingkat II percontohan telah mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan daerah-daerah tersebut di dalam pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, yang antara lain ditunjukkan dengan relatif besarnya peran dan kontribusi PAD daerah-daerah tingkat II tersebut. Namun apabila kita mempertimbangkan kemungkinan perluasan penerapan uji coba otonomi pada daerah-daerah tingkat II lainnya yang relatif belum kuat kapasitas dan kemampuan otonominya, maka implikasi hasil evaluasi di atas mungkin saja terjadi.

Selanjutnya implikasi kedua terhadap meningkatnya beban pembiayaan pemerintah daerah, terutama terkait dengan diserahkan lebih banyak urusan dan wewenang kepada instansi/dinas otonom pemerintah daerah tingkat II, yang secara logis akan memberikan implikasi terhadap semakin besarnya beban biaya operasional pemerintahan dan biaya pembangunan yang perlu disediakan oleh pemerintah daerah tingkat II sebagai suatu daerah otonom; sebagai konsekuensi logis 'swa-dana (self-financed)' suatu daerah otonom yang bertanggung jawab. Kondisi ini akan cukup berat membebani anggaran rutin dan pembangunan dari masing-masing daerah tingkat II, terutama dengan mempertimbangkan bahwa pada umumnya kondisi keuangan daerah masih relatif belum mandiri dan masih relatif tergantung pada bantuan dan subsidi anggaran dari pemerintah pusat, yang antara lain tercermin dari rendahnya pangsa PAD dalam struktur APBD dan relatif masih besarnya kontribusi subsidi dan bantuan pemerintah pusat terhadap struktur APBD.

Implikasi ketiga yang berkaitan dengan restrukturisasi kelembagaan dan struktur organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perlu dipertimbangkan secara khusus terutama dengan adanya pengalihan tugas dan status instansi vertikal dekonsentrasi yang selama ini melaksanakan urusan pemerintahan dan pembangunan di daerah tingkat II seperti Kandep dan Cabang Dinas Tingkat I menjadi tugas dan status dinas otonom daerah tingkat II. Pengalihan tugas dan status tersebut selain akan memberikan implikasi terhadap semakin meningkatnya beban otonomi yang semakin besar kepada pemerintah daerah tingkat II, juga akan memberikan implikasi terhadap semakin bertambahnya porsi urusan yang akan dilaksanakan oleh instansi vertikal dekonsentrasi di daerah tingkat I. Selain itu, pembinaan dan pemantauan yang selama ini dilakukan departemen/LPND tingkat pusat terhadap pelaksanaan urusan dekonsentrasi oleh instansi vertikal di daerah tingkat II juga akan semakin berkurang.

 

KONSIDERAN DESENTRALISASI DALAM PERWUJUDAN OTONOMI DAERAH

Masalah lain yang juga akan muncul di daerah tingkat II akibat adanya pengalihan tugas dan status tersebut, adalah ketersediaan, kapasitas, dan kualitas aparat dinas otonom daerah tingkat II yang akan menerima estafet penyelenggaraan urusan dan wewenang pemerintahan dan pembangunan yang selama ini diselenggarakan oleh instansi vertikal dekonsentrasi di daerah tingkat II. Selain itu, masalah lainnya berkaitan dengan pengalihan status aparat mantan instansi vertikal dekonsentrasi di daerah tingkat II; apakah akan dialihkan kepada instansi vertikal dekonsentrasi di daerah tingkat I atau akan dialihkan sebagai aparat pemerintah daerah tingkat II ataupun sebagai aparat perbantuan pada dinas otonom di daerah tingkat II?

Selanjutnya masih terkait dengan implikasi ketiga, implikasi keempat yang berkenaan dengan restrukturisasi anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, adanya restrukturisasi kelembagaan di daerah tingkat II dari instansi vertikal dekonsentrasi (kandep/cabang dinas) menjadi instansi otonom desentralisasi (dinas otonom dati II), memerlukan upaya restrukturisasi DIP/DIK APBN yang selama ini dialokasikan bagi kandep/cabang dinas di daerah tingkat II. Dalam kondisi seperti ini, dapat dilakukan beberapa alternatif upaya restrukturisasi APBN menjadi APBD, antara lain melalui: (i) transfer DIP sektoral APBN ke dalam pola Inpres 'block grant', (ii) transfer DIK APBN ke dalam DIK APBD, atau (iii) transfer DIK APBN ke dalam pola SDO (subsidi daerah otonom) yang akan semakin ditingkatkan besaran dananya untuk membiayai belanja pegawai aparat dinas otonom di daerah tingkat II.

Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan disini bahwa pelaksanaan uji coba otonomi daerah pada daerah tingkat II percontohan dapat dimanfaatkan sebagai 'exercise' dalam rangka menjawab tantangan desentralisasi yang diharapkan akan semakin ditingkatkan penerapannya dalam rangka mendukung penciptaan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.

  
 
Reformasi Pola Pembiayaan Pembangunan Daerah dalam Era Otonomi Daerah

 

Pendahuluan

Pelaksanaan otonomi daerah, yang telah menjadi komitmen politik dari Pemerintah Pusat setidaknya sejak dua puluh dua tahun yang lalu dengan terbitnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, dalam perjalanannya walaupun dianggap cukup terlambat namun berhasil ditindaklanjuti dengan terbitnya PP No. 45 Tahun 1992 dan PP No. 8 Tahun 1995, serta telah ditetapkannya Hari Otonomi Daerah setiap tanggal 25 April oleh Bapak Presiden RI.

Sebagaimana dimaklumi, sejak tanggal 1 April 1995 yang lalu telah dimulai suatu proyek nasional uji coba otonomi daerah pada 26 daerah tingkat II percontohan yang akan dilaksanakan dalam dua tahun anggaran sampai dengan tahun 1997 yang akan datang. Di dalam perjalannya, proyek percontohan otonomi daerah (PPOD) yang didasarkan pada PP No. 8 Tahun 1995 tersebut menunjukkan kinerja yang masih sangat bervariasi antardaerah percontohan dan belum dapat dikatakan menghasilkan suatu kemajuan yang signifikan. Kondisi ini dapat dimaklumi, mengingat masih adanya beberapa peraturan sebagai penjabaran PP 8/95 yang belum dapat diterbitkan sebagai acuan pelaksanaan baik bagi instansi di tingkat pusat maupun bagi pemerintah daerah tingkat II percontohan otonomi.

Bagaimanapun, komitmen pemerintah untuk mensukseskan pelaksanaan otonomi daerah harus terus dilanjutkan pelaksanaannya. Untuk itu, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari instansi yang terlibat di setiap tingkatan pemerintahan untuk mendukung PPOD dan kelanjutannya.

Salah satu isyu yang perlu diperhatikan pelaksanaannya adalah upaya untuk menunjang pelaksanaan otonomi daerah tingkat II dalam kaitannya dengan strategi manajemen pembangunan daerah dalam era otonomi daerah, terutama implikasinya terhadap pola pembiayaan pembangunan daerah. Penyelenggaraan PPOD dalam satu tahun terakhir menunjukkan bahwa salah satu isyu dan permasalahan yang dihadapi adalah masih belum mantapnya manajemen keuangan dan pembiayaan pembangunan daerah dalam era otonomi daerah, yang dalam jangka panjang diharapkan secara bertahap dapat meningkatkan kemampuan keuangan daerah di dalam membiayai pembangunan di daerahnya masing-masing, dengan sekaligus mengurangi tingkat ketergantungan keuangan pemerintah daerah terhadap bantuan dan subsidi dari Pemerintah Pusat. Dalam hal ini sangat diperlukan adanya penyesuaian dan penyempurnaan terhadap kebijaksanaan pembangunan daerah, yang khususnya erat kaitannya dengan kebijaksanaan alokasi bantuan dan subisidi pembangunan daerah melalui program Inpres (anggaran pembangunan) dan SDO (anggaran rutin).

Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan pada diskusi panel yang diselenggarakan oleh Ditjen Bangda Depdagri pada akhir April 1996 yang lalu, terdapat beberapa hal yang cukup penting untuk dipertimbangkan dalam rangka penyesuaian dan penyempurnaan kebijaksanaan pengalokasian dana bantuan dan subsidi kepada pemerintah daerah dalam era otonomi daerah, yang terutama terkait dengan perlunya penyempurnaan terhadap manajemen keuangan daerah, yang antara lain meliputi penyempurnaan pola alokasi bantuan dan subsidi kepada daerah, peningkatan kemampuan keuangan daerah, optimalisasi pemanfaatan potensi pinjaman pembangunan daerah, serta peningkatan peran serta investasi swasta dalam pembangunan daerah.
 

Penyempurnaan Pola Alokasi Bantuan dan Subsidi dalam menunjang Otonomi Daerah

Program bantuan pembangunan daerah melalui Inpres yang selama ini dialokasikan dalam dua pola, block grant dan specific grant, disarankan untuk di’block grant’kan secara keseluruhan untuk memberikan lebih besar keleluasaan dan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaannya. Dalam hal ini, dapat disepakati bahwa pada dasarnya pengalokasian bantuan Inpres dalam era otonomi memang membutuhkan adanya pendelegasian/otonomi kewenangan kepada pemerintah daerah baik dalam pengeluaran pembangunan, namun dengan pertimbangan bahwa saat ini kemampuan keuangan daerah pada umumnya masih relatif terbatas dan sekaligus mengingat bahwa saat ini masih merupakan periode transisi menuju kepada era otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab, maka dapat dipahami masih diperlukannya dua pola dalam pengalokasian anggaran bantuan pembangunan kepada daerah.

Selain itu, masa transisi ini juga ditunjukkan dengan masih relatif belum meratanya pola pendekatan regional yang terdesentraliasi dalam pengalokasian anggaran pembangunan, khususnya dari instansi sektoral yang ada di pusat.

Dengan demikian, adanya pola bantuan spesifik diharapkan dapat berfungsi sebagai "pola transisi" dari pendanaan yang bersifat sektoral dan terpusat (sentralisasi dan dekonsentrasi) menuju kepada pendanaan yang bersifat regional dan terdesentralisasi yang muaranya adalah pola bantuan umum (block grant) kepada daerah.

Dilain pihak, dalam kaitannya dengan alokasi subsidi daerah otonom (SDO) untuk kegiatan rutin, walaupun secara prosedural telah dilakukan secara ‘block susidy’ namun pada kenyataannya masih diperlukan adanya "sekat-sekat" yang dibedakan peruntukannya bagi belanja pegawai dan belanja non pegawai. Dengan demikian, secara analog dapat disimpulkan bahwa SDO dan Inpres masih memerlukan "sekat-sekat" sebagai rambu/ kontrol terhadap pemanfaatannya.
 
 

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah

Dalam hubungannya dengan upaya untuk lebih memberdayakan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah dalam era otonomi ini, dapat disepakati bahwa diperlukan adanya penyempurnaan dan pembaharuan terhadap peraturan/ perundangan yang mengatur pembiayaan pembangunan daerah, terutama yang erat kaitannya dengan perlunya percepatan pembaharuan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang hingga saat ini masih mengacu kepada UU No. 32 Tahun 1956, yang dalam kenyataannya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan permasalahan saat ini. Selain itu, perturan/perundangan tentang pajak dan retribusi daerah yang selama ini diatur dalam UU Drt No. 11 dan 12 Tahun 1957 juga sangat perlu untuk diperbaharui disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang semakin berkembang dan kompleks.

Dapat dimaklumi bahwa upaya penyempurnaan dan pembaharuan dari peraturan/ perundangan tersebut sangat diperlukan secara formal dalam rangka mendukung upaya ekstensifikasi sumber-sumber penerimaan daerah secara lebih berdayaguna dan berhasilguna, serta lebih terdesentralisasi dan bukan merupakan "ekskresi/sisa" dari "porsi" yang diambil oleh pusat/daerah tingkat I selama ini.

 

Optimasi Pemanfaatan Potensi Pinjaman Pembangunan Daerah

Selanjutnya masih terkait dengan upaya penguatan sumber pembiayaan pembangunan daerah, terdapat satu potensi/peluang pembiayaan pembangunan daerah yang belum secara optimal dimanfaatkan oleh pemerintah daerah, yaitu pinjaman pusat bagi pembangunan daerah melalui RPD (rekening pembangunan daerah). Selama ini, kenyataan menunjukkan bahwa RPD baru dimanfaatkan secara optimal khususnya oleh PDAM sebagai BUMD yang potensial di daerah dalam menyumbang pendapatan asli daerah (PAD), serta oleh sektor perkotaan lainnya yang mengelola kegiatan yang bersifat ‘cost recovery’. Dalam hal ini, sebenarnya pihak Departemen Keuangan, dalam hal ini Biro Analisa Keuangan Daerah (BAKD), dalam diskusi panel tentang otonomi baru-baru ini telah mengemukakan suatu rencana untuk melakukan identifikasi terhadap pengalihan status dan fungsi dari beberapa dinas yang potensial menyumbang PAD menjadi BUMD, yang selanjutnya diharapkan dapat memanfaatkan peluang RPD secara lebih optimal. Namun demikian, penetapan alih status dinas menjadi BUMD tersebut jelas harus dilakukan secara bijak dan bertahap serta selektif, khususnya dengan mempertimbangkan adanya perbedaan potensi sumber penerimaan yang dapat digali antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Selain itu, dengan mempertimbangkan pula adanya perbedaan kemampuan keuangan antardaerah, maka sangat diperlukan adanya pembedaan antara daerah yang sudah cukup mampu dengan daerah yang masih belum mampu, yang antara lain dapat menggunakan indikator rasio PAD terhadap APBD masing-masing. Perlunya pembedaan tersebut, terutama dimaksudkan untuk mendukung kebijaksanaan pemerataan pembangunan, yang selama ini melalui program Inpres masih belum secara nyata benar-benar dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antardaerah, khususnya antara daerah yang telah cukup maju dengan daerah yang masih tertinggal.

Untuk itu, apabila dimungkinkan dapat diambil suatu strategi terobosan untuk lebih memberdayakan/meningkatkan kemampuan keuangan dari daerah-daerah yang masih relatif tertinggal tersebut melalui pola subsidi silang yang dilakukan dengan mengkombinasi pola bantuan pembangunan melalui Inpres dengan pola pinjaman pembangunan melalui RPD secara proporsional. Dalam hal ini, dapat diupayakan kebijaksanaan pemberian bantuan pembangunan daerah kepada daerah-daerah yang masih relatif tertinggal saja, sedangkan bagi daerah-daerah yang sudah relatif maju diberikan peluang yang cukup leluasa untuk memanfaatkan RPD secara lebih maksimal.

Sudah barang tentu strategi terobosan ini diharapkan akan dapat secara lebih nyata mengurangi tingkat kesenjangan pembangunan antara daerah yang sudah cukup maju dengan yang masih tertinggal. Melalui strategi ini juga sekaligus diharapkan akan dapat lebih mendewasakan daerah-daerah yang sudah cukup maju untuk dapat lebih mandiri dalam pembiayaan pembangunannya, dan lebih memberdayakan daerah-daerah lainnya untuk dapat mengejar ketertinggalannya. Secara bertahap, diharapkan bahwa dalam jangka panjang, bagi daerah-daerah yang sudah dapat mengejar ketertinggalannya menjadi daerah yang cukup maju, pola bantuan Inpresnya juga akan secara bertahap dikurangi dan diarahkan untuk memanfaatkan pinjaman RPD agar dapat lebih mandiri.

Dalam rangka itu, dalam rangka lebih menggairahkan pemerintah daerah (khususnya pada saat ini yang telah relatif maju) untuk memanfaatkan pola pinjaman melalui RPD, perlu dilakukan pemasyarakatan potensi RPD secara lebih menyeluruh kepada pemerintah daerah dengan disertai berbagai kebijaksanaan yang lebih memudahkan akses pemerintah daerah dalam pemanfaatan RPD, antara lain dengan penyederhanaan dan desentralisasi prosedur (seperti dengan memfungsikan BPD di masing-masing daerah), serta penurunan suku bunga pinjaman.

Dalam mempertimbangkan upaya strategi ini, nampaknya kita perlu menganalogikan/bercermin pada pola bantuan luar negeri yang diberikan kepada Pemerintah Indonesia selama kurun waktu PJP I yang lalu, dimana pola hibah/bantuan (grant) dan pinjaman lunak (soft-loan) telah disesuaikan menjadi pola pinjaman komersial, sejalan dengan semakin majunya negara kita dalam lingkup regional dan internasional.
 

Peningkatan Potensi Investasi Swasta dalam Pembangunan Daerah

Pada akhirnya, dengan mempertimbangkan masih belum tergalinya potensi investasi swasta untuk berkontribusi dalam pembangunan daerah secara optimal, nampaknya pola pembiayaan pembangunan daerah dalam era otonomi tidak hanya berorientasi pada investasi pemerintah namun juga mempertimbangkan potensi investasi swasta yang diharapkan dalam jangka panjang akan semakin meningkat sumbangannya dalam pembangunan daerah. Dalam hubungan ini, manajemen pembangunan daerah yang selama ini masih relatif mendikotomikan ‘private investment’ dan ‘public investment’, nampaknya perlu disempurnakan dan diupayakan terobosan yang dapat menterpadukan dan mensinkronkan antara kedua potensi tersebut untuk dimanfaatkan secara maksimal dalam upaya pembangunan daerah.

Sebagai keluaran akhir, diharapkan pelaksanaan otonomi daerah dapat secara nyata dapat mengoptimalkan berbagai potensi sumber daya pembangunan daerah yang selama ini belum banyak dimanfaatkan, baik yang bersumber dari bantuan dan subsidi serta pinjaman pemerintah pusat, sumber penerimaan daerah sendiri, maupun dari peran serta swasta dan masyarakat, yang secara keseluruhan dapat didayagunakan dalam rangka meningkatkan kemampuan daerah dalam rangka melaksanakan otonomi yang nyata, serasi, dinamis, dan bertanggung jawab.