KEBIJAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MELALUI PEMANFAATAN NERACA KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH DAN NERACA SUMBER DAYA ALAM SPASIAL DAERAH
 
 

Pendahuluan

GBHN 1993 antara lain memberikan petunjuk bahwa pendayagunaan sumber daya alam sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab, dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan.

GBHN 1993 juga menegaskan bahwa pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi Indonesia harus senantiasa memperhatikan bahwa pengelolaan sumber daya alam, di samping untuk memberi kemanfaatan masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa depan. Sementara itu, kegiatan di sektor primer yang memanfaatkan sumber daya alam memiliki potensi untuk merusak lingkungan, baik air, tanah, maupun udara. Oleh karena itu, kegiatan pembangunan di sektor primer harus selalu dijaga agar tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Khususnya untuk penataan ruang, arahan GBHN 1993 menggariskan bahwa tata ruang nasional yang berwawasan nusantara dijadikan pedoman bagi perencanaan pembangunan agar penataan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam dapat dilakukan secara aman, tertib, efisien, dan efektif.

Dalam PJP I telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang menegaskan bahwa ruang perlu dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi kelangsungan hidup yang berkualitas. Sebagai suatu sistem, pemanfaatan ruang haruslah dilakukan secara terkoordinasi, terpadu, dan efektif, dengan tetap memperhatikan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, serta kelestarian dan kemampuan lingkungan.
 

Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam PJP I

Pengelolaan sumber daya alam dalam rangka pembangunan nasional telah dilakukan sejak Repelita I. Sejak awal Repelita II telah ditegaskan bahwa kebijaksanaan pembangunan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan menjadi pedoman penting dalam pembangunan nasional. Arahan kebijaksanaan dan program pembangunan yang berkelanjutan terus dikembangkan sampai sekarang.

Pembangunan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam pada dasarnya bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan sumber alam dan menurunnya kualitas lingkungan serta meningkatkan daya dukung lingkungan sehingga pembangunan nasional yang berkelanjutan dapat dilaksanakan. Untuk mencapai tujuan tersebut, selama PJP I telah dikembangkan berbagai kebijaksanaan yang meliputi pembinaan keserasian antara kependudukan dengan lingkungan hidup; pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup; pengendalian pencemaran dan dampak negatif pembangunan pada lingkungan hidup; dan pengembangan sistem tata laksana pembangunan yang berkelanjutan.

Kebijaksanaan tersebut kemudian dituangkan dalam program inventarisasi serta evaluasi sumber alam dan lingkungan hidup, penyelamatan hutan, tanah dan air, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, pengembangan meteorologi dan geofisika, pembinaan daerah pantai, pengendalian pencemaran lingkungan hidup, serta rehabilitasi hutan dan tanah kritis.

Melalui program inventarisasi dan evaluasi sumber alam dan lingkungan hidup telah diselesaikan kegiatan pemetaan dasar yang mencakup 60 persen wilayah Indonesia pada berbagai skala (1:25.000, 1:50.000, dan 1:100.000) yang dikoordinasikan pelaksanaannya oleh Bakosurtanal. Di samping itu, telah diselesaikan kegiatan pemetaan sumber daya lahan pada skala 1:250.000 untuk seluruh Indonesia serta peta geologi bersistem untuk wilayah Jawa dan Madura yang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Selain itu, juga telah dilakukan kegiatan penataan batas luar dan batas fungsi kawasan hutan tetap sepanjang 113.852 kilometer atau 32 persen dari total 352.000 kilometer yang harus diselesaikan, serta inventarisasi hutan melalui penafsiran citra satelit yang hampir mendekati penyelesaian melalui kerjasama antara Departemen Kehutanan dan Bakosurtanal.
 

Tantangan dan Sasaran Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Repelita VI

Pelaksanaan pembangunan, baik sektoral maupun daerah, perlu dilakukan dengan efektif, efisien, dan berwawasan lingkungan. Untuk itu telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang intinya adalah memberikan dimensi ruang pada kegiatan pembangunan. Selain itu, diperlukan pula koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi antarsektor, antardaerah, serta antara sektor dan daerah dalam pemanfaatan ruang tersebut. Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan daerah adalah memfungsikan penataan ruang sebagai acuan dan perangkat koordinasi pembangunan daerah. Penggunaan perangkat penataan ruang tersebut juga termasuk untuk mengelola pemanfaatan sumber daya alam dan memantapkan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Akibat dari kegiatan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan adalah terancamnya kondisi lingkungan hidup, yang pada gilirannya dapat menghambat pembangunan secara berkelanjutan. Keterbatasan pengetahuan masyarakat umum dan kekurangpedulian pengusaha swasta dalam mengelola sumber daya alam menyebabkan terjadinya lahan-lahan kritis, pencemaran air dan udara, erosi tanah, penggunaan lahan yang tidak terkendali dan lain-lain gangguan terhadap lingkungan hidup. Dalam hal ini, tantangannya adalah melaksanakan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan agar kelestarian sumber alam tetap terpelihara dalam menjamin pembangunan daerah dan pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Dalam kaitannya dengan sasaran pembangunan, dalam Repelita VI pertumbuhan ekonomi masih sangat bergantung pada penyediaan sumber daya alam dan jasa lingkungan hidup seperti bahan galian, hasil laut, hutan, lahan subur, keindahan alam, dan sumber daya air. Potensi sumber alam dan lingkungan tersbut masih amat sedikit yang sudah dikenali. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi masih memerlukan lebih banyak sumber alam dan jasa lingkungan hiudp. Oleh karena itu, sasaran penting dalam pembangunan lingkungan hidup adalah meningkatnya pengenalan jumlah dan mutu sumber alam dan jasa lingkungan yang tersedia di alam, pengenalan tingkat kerusakan, penggunaan dan kemungkinan pengembangannya. Sasaran ini erat kaitannya dengan pengembangan sistem tata guna sumber alam yang lebih adil dan lebih merata. Pengenalan daya dukung lingkungan yang tepat akan membantu pencapaian sasaran penataan ruang yang lebih efisien, efektif, dan berwawasan lingkungan. Alokasi kegiatan pembangunan ke dalam ruang yang tepat berdasarkan daya dukung lingkungan akan lebih mudah dilakukan.
 

Kebijaksanaan dan Program Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Repelita VI

Kegiatan pembangunan nasional dan daerah, khususnya pada kawasan yang cepat berkembang, diserasikan agar dapat mencegah terjadinya tumpang tindih, benturan berbagai kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan dan tidak bertanggung jawab. Dalam kaitan itu, dikembangkan dan dimantapkan pola tata ruang nasional, daerah, dan kawasan cepat berkembang/andalan/strategis.

Dalam mewujudkan pola tata ruang yang terpadu, serasi, selaras, dan seimbang dilakukan penyusunan tata guna lahan, air, dan sumber daya alam lainnya dalam satu pola tata ruang yang menggambarkan keterpaduan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan. Dalam proses penyusunannya dipertahankan penggunaan tanah produktif untuk pertanian, kawasan hutan dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya, dan kawasan lindung dipertahankan fungsi lindungnya.

Berdasarkan beberapa kebijaksanaan di atas, dalam Repelita VI ini akan dilaksanakan beberapa program pembangunan yang erat kaitannya dengan pengembangan sumber daya alam, yaitu: (i) program peningkatan kualitas sumber daya alam dan lingkungan hidup, (ii) program penataan ruang daerah, dan (iii) program inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Program peningkatan kualitas sumber daya alam dan lingkungan hidup meliputi peningkatan rehabilitasi lahan kritis melalui reboisasi kawasan hutan lindung, suaka alam, dan kawasan lindung lainnya dengan peningkatan desentralisasi; peningkatan kerja sama antardaerah tingkat I dan antardaerah tingkat II dalam pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam; peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan mutu lingkungan hidup; penyempurnaan peraturan daerah mengenai lingkungan hidup; penuntasan kelengkapan perangkat tata ruang serta pemantapan penggunaan perangkat tata ruang tersebut dalam pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam untuk pembangunan.

Program penataan ruang daerah meliputi pemantapan penataan ruang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; perencanaan tata ruang daerah tingkat II secara lebih rinci sehingga dapat menjadi acuan bagi pelaksanaan pembangunan serta pengawasannya; peningkatan penataan penggunaan tanah, dan administrasi pertanahan.

Program inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam dan lingkungan hidup ditujukan untuk meningkatkan jumlah dan mutu informasi sumber daya alam serta mengembangkan neraca dan tata guna sumber alam dan lingkungan hidup untuk mengetahui daya dukung dan menjamin sediaan sumber alam yang berkelanjutan. Informasi mengenai ketersediaan, neraca serta daya dukung sumber daya alam, dibutuhkan untuk penyempurnaan rencana tata ruang, khususnya yang menyangkut pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam.

Sebagai penjabaran dari arahan kebijaksanaan di atas, penyusunan neraca kualitas sumberdaya alam daerah (NKLD) dan neraca sumber daya alam spasial daerah (NSASD) sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan pencapaian sasaran dari program inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam, yaitu dalam penyediaan informasi mengenai ketersediaan, neraca serta daya dukung sumber daya alam, khususnya sumber daya lahan. Selain itu, keberadaan dari beberapa kegiatan penyusunan data dasar sumber daya alam spasial di daerah, seperti melalui proyek Land Resources Evaluation and Planning (LREP) untuk sumber daya lahan serta proyek Marine Resource Evaluation and Planning (MREP) untuk sumber daya kelautan, diharapkan juga dapat sekaligus mendukung upaya penyusunan data dasar dan inventarisasi potensi sumber daya alam sebagai unsur pokok pembangunan di masing-masing daerah.

 
Pengembangan Potensi Sumber Daya Alam dalam Repelita VI

Pengelolaan sumber daya alam mempunyai peran ganda yaitu dalam skala sektoral dan skala regional (daerah). Peran dalam skala sektoral ialah untuk memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional terutama yang berasal dari pemanfaatan sumber alam strategis dan vital (antara lain minyak, gas bumi, batubara, hasil hutan, hasil laut) di tingkat nasional. Dalam skala regional berfungsi untuk menunjang kebijaksanaan pemerataan pembangunan dalam konteks pengembangan wilayah di daerah-daerah dalam misi antara lain merangsang untuk meningkatkan pendapatan daerah, penciptaan lapangan kerja, kesempatan berusaha bagi masyarakat di daerah.

Pemanfaatan sumber alam dapat menumbuhkan zona industri yang akan memberikan nilai tambah baik sebagai nilai tambah sektor industri yang menghasilkan barang setengah jadi ataupun sekaligus dapat memperluas kesempatan kerja serta meningkatkan pendapatan, terutama bagi masyarakat setempat sebagai efek ganda.

Di samping itu, pengembangan sumber daya alam dapat pula menjadi titik tolak dalam usaha pengembangan wilayah yang antara lain ditunjukkan dengan pengembangan prasarana jalan, kawasan permukiman, dan kawasan pengembangan sektor produktif lainnya yang terkait. Dalam pelaksanaannya, pengembangan kawasan-kawasan tersebut sering menimbulkan masalah tumpang tindih kepentingan antarsektor, seperti antara: (a) kegiatan pertambangan dengan kegiatan pertanian, (b) pertambangan batubara dengan PIR, transmigrasi, kehutanan, dan (c) pertambangan emas dengan wilayah kehutanan.

Dalam optimasi pemanfaatan lahan bagi pengembangan sumber alam perlu diupayakan agar kegiatan inventarisasi potensi sumber daya alam tetap terbuka di semua kawasan, dan apabila ditemukan suatu endapan sumber daya alam, seperti bahan galian, di suatu kawasan selalu terbuka untuk kemungkinan dilakukan eksploitasi apabila memang ternyata layak secara tekno-ekonomi. Dengan demikian, diharapkan agar dalam peruntukan lahan perlu didasari prinsip akomodatif dan dinamis dari berbagai sektor agar dapat selalu dilakukan peninjauan kembali ataupun penyesuaian dalam RTRW dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan UUPR.

Dengan demikian, pengembangan sumber daya alam di daerah dapat menunjang dan merangsang pengembangan kawasan andalan dengan meningkatkan keterkaitan antarsektor unggulan di masing-masing kawasan, dan sekaligus dapat mempercepat pembangunan daerah-daerah terpencil dan miskin.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka upaya pengembangan wilayah melalui usaha pengembangan sumber daya alam dapat dikategorikan menjadi tiga alternatif pengembangan:

Keberadaan sumber daya alam yang menempati suatu ruang wilayah, menjadikan pertimbangan dalam pendayagunaan dan pemanfaatan sumber alam yang dikaitkan dengan pola tata ruang wilayah yang luwes, dalam arti bahwa tata ruang tersebut dapat mengakomodasikan kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung usaha pengembangan wilayah.

Penataan ruang dalam kegiatan pendayagunaan dan pemanfaatan sumber daya alam mempunyai peranan penting untuk: (i) promosi investasi dalam bidang pengelolaan sumber daya alam, dan (ii) pelestarian lingkungan fisik dan lingkungan nonfisik, mengingat bahwa kegiatan pengelolaan sumber alam cenderung merubah pola tata ruang dan tata guna lahan.
 

Peranan NKLD dan NSASD dalam Pengembangan Sumber Daya Alam di Daerah

Ketersediaan data dan informasi spasial yang memadai sangat diperlukan dalam penataan ruang, agar usaha optimasi pemanfaatan ruang wilayah dapat dicapai. Data dan informasi spasial yang diperlukan dalam tahap perencaaan tata ruang wilayah adalah data dan informasi geografis (SIG) yang beraspek sumber daya alam sebagai faktor penunjang dan unsur-unsur pembatas lingkungan fisik sebagai faktor kendala. Data spasial sumber daya alam yang berbasis informasi geografis (SIG) antara lain meliputi: (a) sumber daya lahan, (b) sumber daya air, dan (c) sumber daya mineral dan energi. Sedangkan data pembatas lingkungan terdiri dari (a) pembatas alami (data potensi bencana alam) dan (b) pembatas yang timbul akibat ulah manusia (seperti penurunan kualitas lingkungan).

Berbagai data geografis yang beraspek sumber daya alam dan unsur pembatas di atas ditampilkan ke dalam peta-peta tematik atau peta kompilasi yang mudah dibaca dan dimengerti oleh para perencana ruang wilayah.

Perencanaan tata ruang wilayah hendaknya disesuaikan dengan faktor pendukung dan pembatas yang ada. Adanya sumber daya galian di suatu tempat dapat mendasari suatu kawasan untuk dikembangkan sebagai suatu pusat kegiatan. Di lain pihak, penggunaan suatu lahan jangan sampai tumpang tindih dengan bahan galian yang terkandung di bawahnya, karena potensi sumber daya galian tersebut akan menjadi tidak optimal.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa sistem informasi sangat dibutuhkan dan merupakan kebutuhan pokok dalam rangka peningkatan kualitas penataan ruang, yang dalam rangka itu perlu dilakukan perluasan cakupan sistem informasi yang telah ada pada berbagai instansi saat ini menjadi suatu sistim yang terpadu yang menghimpun informasi mengenai ruang wilayah daratan, ruang wilayah lautan dan ruang udara beserta potensi sumberdaya yang terkandung didalamnya.

Pelaksanaan berbagai proyek pembangunan yang diarahkan untuk memantapkan data dasar sumber daya alam spasial daerah melalui penerapan sistem informasi geografis (SIG), seperti dalam proyek Land Resources Evaluation and Planning (LREP) dan Marine Resources Evaluation and Planning (MREP), sebenarnya sekaligus telah memperkuat kemampuan kelembagaan dan aparat perencanaan di daerah (khususnya Bappeda) di dalam membangun data pokok dan informasi neraca sumber daya alam yang ada di wilayah daratan dan wilayah laut.

Dalam prakteknya, keberadaan SIG wilayah daratan dan wilayah laut tersebut di masing-masing daerah, telah memberikan bantuan yang sangat penting kepada pemerintah daerah di dalam memantapkan penyusunan dan pemanfaatan serta pengendalian rencana tata ruang wilayah (RTRW) masing-masing daerah. Pengembangan SIG di daerah tersebut, tidak hanya melalui penyediaan sarana dan prasarana piranti keras dan lunak komputer, namun juga sekaligus mengembangkan kualitas sumber daya aparat perencana pemerintah daerah melalui kegiatan pelatihan yang dilaksanakan baik di dalam maupun di luar negeri. Kualitas dan kesiapan sumber daya aparatur perencana di daerah sangat vital peranannya di dalam mengembangkan dan memelihara (updating) SIG yang telah disusun, serta sekaligus dalam mengimplementasikan dan mengendalikan pemanfaatan SIG ke dalam rencana tata ruang wilayah di daerahnya masing-masing.

Salah satu permasalahan dalam penataan ruang yang telah teridentifikasi adalah kurang tersedianya informasi geografis yang memadai, khususnya masalah ketersediaan peta dasar, yang antara lain ditunjukkan oleh: (i) belum tersedianya peta dasar dan belum adanya kesepakatan mengenai peta yang akan dipakai sebagai peta dasar dalam penataan ruang; (ii) relatif rendahnya akses terhadap informasi berupa peta dasar produk TNI-AD yang selama digunakan; dan (iii) relatif terlambatnya pemberian prioritas terhadap program pemetaan nasional dan daerah (baru pada Repelita VI).

Hingga saat ini, peta topografi yang ada adalah peta topografi produk TNI-AD (non-digital) dan peta rupa bumi yang dibuat Bakosurtanal dengan informasi yang kurang terinci. Status terakhir menunjukkan bahwa kombinasi dari kedua produk peta tersebut telah mencakup 65% dari seluruh wilayah Indonesia.

Dalam rangka penataan ruang, maka peta dasar untuk penataan ruang wilayah bagi setiap tingkatan rencana tata ruang adalah:

Sebagaimana diketahui, penyediaan peta-peta tersebut dikoordinasikan Bakosurtanal. Dalam kaitannya dengan lebih memantapkan kegiatan penataan ruang wilayah, maka dalam upaya untuk mengatasi permasalahan ketidaktersediaan peta, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan bersama, yaitu: (i) penyeragaman peta dasar yang digunakan dalam penataan ruang wilayah, dan (ii) peningkatan kemampuan aparatur dan kelembagaan pemda dalam kegiatan pemetaan dan penataan ruang wilayah. Selain itu, perlu diupayakan pula sinkronisasi dan penyeragaman legenda dan nomenklatur peta, khususnya mengenai penggunaan lahan baik yang bersifat umum maupun yang khusus untuk masing-masing instansi sektoral terkait.
 

Beberapa Pertimbangan Pokok dalam Pengelolaan Data Dasar bagi Perencanaan Pembangunan Daerah dalam Repelita VI

Pelaksanaan proyek LREP dan MREP yang dilaksanakan pada beberapa daerah dalam rangka menunjang penyusunan NKLD dan NSASD di masing-masing daerah, perlu dievaluasi dan dikaji kembali hasilgunanya, khususnya dalam kaitannya dengan upaya pencapaian sasaran program penataan ruang dan inventarisasi sumber daya alam yang telah ditetapkan dalam Repelita VI ini.

Dengan tetap memperhatikan arahan yang telah dutuangkan dalam Inmendagri No. 39 Tahun 1995 tentang Penyusunan NKLD dan NSASD, maka dalam rangka meningkatkan dayaguna dan hasilguna dari pelaksanaan kedua proyek penyusunan data dasar sumber daya spasial daerah di atas, paling tidak terdapat 3 indikator keberhasilan yang akan dinilai tingkat pencapaian sasarannya, yaitu: (i) berfungsi secara efektifnya Provincial Data Center (Pusat Data Propinsi/PDP) sebagai suatu wadah koordinasi antarinstansi dalam perencanaan pembangunan di masing-masing daerah; (ii) tersusunnya peta zonasi lahan dan kelautan tingkat propinsi dengan skala 1:250.000 sebagai acuan kerangka makro pembangunan di daerah; dan (iii) tersusunnya peta perencanaan semi ditail dengan skala 1:50.000 dan 1:250.000 di areal prioritas proyek LREP-II dan MREP, yang kesemuanya diarahkan untuk dapat dipadukan dan diselaraskan dalam rangka mewujudkan NKLD dan NSASD yang diperlukan sebagai kerangka acuan makro dan teknis dalam rangka menunjang perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan sumber daya alam sebagai potensi pembangunan daerah.

Berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan peranan dan fungsi dari Pusat Data Propinsi (PDP) sebagai wadah koordinasi perencanaan dan pengendalian data dasar sumber daya alam spasial untuk pembangunan daerah, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut:

Koordinasi, sinkronisasi dan integrasi berbagai data dan informasi yang terkait dengan pemetaan sumber daya alam dan potensi daerah lainnya. Dalam hal ini, keberadaan dari peta-peta dasar spasial/geografis (SIG) yang telah dihasilkan melalui proyek LREP dan MREP (bagi 10 propinsi pelaksana) serta data pokok pembangunan daerah perlu dipadukan dan diselaraskan, termasuk dibakukan perangkat lunaknya seperti antara Arc-Info (LREP dan MREP) dengan Delta-9B (data pokok), sebagaimana telah ditegaskan melalui SE Dirjen Bangda dalam rangka menselaraskan dan menterpadukan pelaksanaan LREP dan MREP dalam rangka menunjang penyusunan NKLD dan NSASD di masing-masing daerah.
Pertimbangan perlu adanya koordinasi dan optimasi keberadaan dari KPDE (kantor pengolahan data elektronik di dati I dan dati II) yang mengelola SIMDA dalam menunjang SIMDAGRI, yang ditetapkan berdasarkan Kepmendagri No. 45 Tahun 1992 (sebelum dirancangnya pembentukan PDP melalui LREP-II dan MREP). Hal ini termasuk perlu diselaraskan dan diterpadukannya peralatan yang dimiliki oleh PDE dan PDP untuk dapat lebih optimal dimanfaatkan sebagai wadah koordinasi antarinstansi dalam perencanaan pembangunan daerah.
Optimasi keberadaan staf perencana di Bappeda dan instansi terkait dati I yang telah mengikuti kursus dan pelatihan perlu terus dijaga, dan diupayakan adanya 'transfer of knowledge' dari mereka dalam rangka keberlanjutan pelaksanaan kegiatan penyusunan NKLD dan NSASD, khususnya pada pasca proyek LREP dan MREP. Selain itu, keberadaan dari beberapa tim teknis perencanaan spasial di Bappeda yang melibatkan staf teknis purnawaktu dan paruhwaktu seperti pada Tim Physical Planning (TPP) dan unit GIS sebagai motor penggerak PDP sangat perlu dipertimbangkan kemungkinan pengangkatannya sebagai staf organik pemda pada pasca proyek. Selanjutnya, keberadaan dari para konsultan juga harus dimanfaatkan secara optimal oleh Bappeda, serta sekaligus telah mulai menerima estafet "kepakaran" dari para konsultan, guna menjamin keberlanjutan kegiatan pada pasca proyek.
Masih terkait dengan aspek kelembagaan, keberadaan dari beberapa tim-tim teknis dan koordinatif yang dibentuk dalam proyek LREP dan MREP dan dengan telah dibentuknya Pusat Data Propinsi, serta Tim Penyusunan NKLD dan NSASD sesuai dengan arahan Inmendagri No. 39 Tahun 1995, perlu dipertimbangkan kemungkinannya sebagai cikal bakal (embrio) dari rencana pembentukan Tim Koordinasi Tata Ruang Daerah yang dirasakan kebutuhannya telah semakin mendesak baik di dati I maupun dati II.
 
Peranan Data Dasar Sumber Daya Alam Spasial Daerah dalam rangka Pemantapan RTRW di Daerah

Selanjutnya dalam kaitannya dengan upaya untuk menyusun peta spasial zonasi lahan dan zonasi kelautan dengan skala 1:250.000 di masing-masing propinsi, perlu adanya upaya untuk mengintegrasikan dan mengakuratkan (updating) data dan informasi yang dijadikan acuan koordinasi perencanaan pembangunan selama ini, seperti data dan informasi dari RePProT (1990) dan RTRWP (khususnya untuk RSTRP dan RUTRK yang disusun sebelum terbitnya UUPR).

Selain itu, dengan mempertimbangkan semakin mendesaknya kebutuhan untuk melakukan review dan evaluasi serta penyesuaian terhadap RTRWP dan RTRWK untuk dapat disesuaikan dengan arahan nasional dalam RTRWN, maka keberadaan dari peta zonasi lahan dan kelautan sangat penting untuk dapat segera dimanfaatkan sebagai acuan makro dan teknis dalam perencanaan pembangunan daerah.

Sejalan dengan upaya di atas, dalam kaitannya dengan kegiatan penyusunan peta perencanaan semi detail pada areal prioritas (pada LREP) dan marine and coastal management area/MCMA (pada MREP) yang telah ditetapkan di masing-masing propinsi, perlu diperhatikan keterkaitan dan dukungannya terhadap rencana pengembangan kawasan andalan yang telah diarahkan baik dalam RTRWN (dalam lingkup nasional) maupun dalam RTRWP dan RTRWP (dalam lingkup daerah).

Hal di atas sangat perlu diperhatikan, mengingat pengembangan kawasan-kawasan andalan yang telah diidentifikasi tersebut perlu didukung oleh rencana yang lebih rinci (rencana detail tata ruang kawasan andalan/RDTRKA) yang membutuhkan data dan informasi serta peta-peta yang lebih terinci mengenai sumber daya alam, kondisi tanah, dan kesesuaian lahan, sebagaimana yang dilaksanakan pada areal prioritas dalam LREP dan MCMA dalam MREP.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap pemilihan lokasi areal prioritas dalam LREP-II dan MCMA dalam MREP, diketahui terdapat beberapa propinsi yang telah memperhatikan arahan pengembangan kawasan andalan dalam RTRW, walaupun beberapa propinsi lainnya masih menetapkan areal prioritas yang berbeda lokasinya dengan kawasan andalan. Untuk itu, guna menjamin keberlanjutan pengembangan areal prioritas pasca proyek LREP-II dan MREP, masing-masing propinsi perlu mensinkronkan penetapan areal prioritas dengan rencana pengembangan kawasan andalan yang telah diarahkan dalam RTRW, khususnya pada kawasan andalan yang telah diprioritaskan pengembangannya dalam jangka pendek seperti rencana pengembangan 13 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) pada propinsi-propinsi di kawasan timur Indonesia.

Demikianlah beberapa pokok pikiran yang dapat disampaikan dalam kesempatan Temukarya Nasional Pengembangan Data Dasar Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 1996 pada hari yang berbahagia ini. Semoga beberapa pokok pikiran tersebut dapat dijadikan masukan bagi pembahasan di dalam sidang kelompok pada pertemuan tiga hari ini, sehingga dapat menghasilkan rumusan yang dapat dijadikan masukan bagi program kegiatan penyusunan NKLD dan NSASD pada tahun-tahun terakhir Repelita VI dalam rangka mendukung pembangunan daerah secara lebih berdayaguna dan berhasilguna.

Terima Kasih.
 

Ujung Pandang, 14 Oktober 1996