STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH DAN
KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN DAERAH
 

PENDAHULUAN

Sesuai dengan arahan GBHN 1993, salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam upaya pemantapan perencanaan pembangunan nasional dalam hubungannya dengan peningkatan kinerja pembangunan daerah yang terintegrasi dengan pembangunan sektoral adalah pemantapan penataan ruang. Pentingnya pemantapan penataan ruang didasarkan pada semakin meningkatnya dan dinamisnya kegiatan pembangunan dan gerakan masyarakat yang telah meningkatkan intensitas pemanfaatan ruang oleh aktivitas-aktivitas yang satu sama lain sering tidak sesuai. Hal ini dapat menimbulkan konflik pemanfaatan ruang yang kian rumit dan sukar diatasi dan selanjutnya dapat menjadi pemicu timbulnya berbagai masalah sosial budaya. Jadi persoalan penataan ruang adalah salah satu akar persoalan yang menggandakan banyak masalah lain.

Dengan demikian dapat disampaikan bahwa penataan ruang perlu dimantapkan karena merupakan instrumen demi terwujudnya pembangunan yang serasi, selaras, dan berkesinambungan, baik antara pemerintah pusat dan daerah. Untuk itu, pendekatan penataan ruang diharapkan mampu menghasilkan rencana-rencana yang mempunyai daya antisipasi tinggi terhadap perkembangan dan tidak kalah cepat dengan kebutuhan pembangunan, baik di pusat dan di daerah. Selain itu, harus bersifat realistik operasional dan benar-benar mampu berfungsi sebagai instrumen koordinasi terhadap program-program pembangunan dari berbagai sumber pendanaan.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, beberapa upaya pemantapan penataan ruang telah dilakukan, baik di tingkat pusat dan daerah. Adapun beberapa upaya pemantapan penataan ruang yang penting diperhatikan dalam menyusun kegiatan program pembangunan baik di pusat dan daerah adalah seperti disebut di bawah ini.
 
 

STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH DALAM REPELITA VI DAN PJP II

Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak. Adapun penataan ruang pada hakekatnya adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Secara lebih spesifik, penataan ruang dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mewujudkan tata ruang yang terencana, dengan memperhatikan keadaaan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi antarlingkungan, tahapan dan pengelolaan pembangunan, serta pembinaan kemampuan kelembagaan dan sumber daya manusia yang ada dan tersedia, dengan selalu mendasarkan pada kesatuan wilayah nasional dan ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Prinsip penataan ruang adalah pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, efektif dan efisien, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum. Adapun penataan ruang bertujuan untuk terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan, terselenggaranya pengeturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya, serta tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas.

Dalam PJP II dimensi spatial dalam pembangunan semakin diperhatikan dengan senantiasa mengantisipasi dampak setiap investasi terhadap daya dukung sumber daya yang tersedia agar tetap menjamin pembangunan yang berkelanjutan. Investasi pembangunan diupayakan berada pada lokasi-lokasi yang terbaik dan optimum dilihat dari berbagai segi, baik segi teknis, sosial, ekologi maupun segi produktivitas investasi itu sendiri.

Dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UUPR) disebutkan bahwa batasan ruang adalah ruang dimana Republik Indonesia mempunyai hak yurisdiksi yang meliputi hak berdaulat di wilayah teritorial maupun kewenangan hukum di luar wilayah teritorial berdasarkan ketentuan konvensi yang bersangkutan yang berkaitan dengan ruang lautan dan ruang udara. Ruang wilayah negara tersebut terdiri dari berbagai ruang wilayah sebagai suatu sub sistem yang masing-masing merupakan sub sistem ruang menurut batasan administrasi. Masing-masing sub sistem meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan kelembagaan dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda satu dengan yang lainnya yang apabila tidak ditata secara baik dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta ketidaklestarian lingkungan hidup.

Oleh karena pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan maka dalam pengaturan ruang dituntut pengembangan sistem keterpaduan. Ini berarti perlu adanya suatu kebijaksanaan nasional penataan ruang yang memadukan berbagai kebijaksanaan pemanfaatan ruang.

Dengan demikian, penataan ruang merupakan upaya agar ruang, dalam batas-batas seperti disebutkan di atas, dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, generasi sekarang maupun yang akan datang. Penataan ruang, selain dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memelihara lingkungan hidup, juga harus diarahkan untuk mendukung kekuatan pertahanan keamanan negara.

Penataan ruang dalam UUPR itu dibedakan atas penataan ruang wilayah nasional, wilayah propinsi daerah tingkat I dan wilayah kabupaten/kotamadya daerah tingkat II, yang pelaksanaannya harus dilakukan secara terpadu. Adapun cakupannya tidak hanya ruang daratan, melainkan juga ruang lautan dan ruang udara. Pada saat ini telah berhasil diselesaikan penyusunan Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi (RSTRP) di seluruh propinsi sebagian diantaranya telah disahkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Diharapkan pada akhir tahun anggaran 1994/95 semua propinsi telah menetapkan Peraturan Daerah rencana tata ruang wilayahnya. Demikian juga dengan Tingkat II, 243 Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten dan 81 Rencana Umum Tata Ruang Kotamadya dan Kota Administratif telah selesai penyusunannya sehingga pada saat ini tinggal proses penetapan dan pengesahan Peraturan Daerahnya. Sedangkan mengenai rencana tata ruang wilayah nasional, yang dikenal dengan Strategi Nasional Pengembangan Pola Tata Ruang (SNPPTR), draft awal telah mendapat tanggapan dari departemen teknis terkait dan sudah disusun draft perbaikannya untuk ditanggapi lebih lanjut oleh departemen dan pemerintah daerah.

Selain penyusunan rencana-rencana tata ruang wilayah yang kemudian perlu diperinci ke dalam rencana-rencana tata ruang perdesaan, perkotaan dan kawasan tertentu, UU - Penataan Ruang juga perlu dijabarkan ke dalam beberapa peraturan pelaksanaan, antara lain: peraturan mengenai hak dan kewajiban serta peran serta masyarakat dalam penataan ruang, peraturan mengenai penatagunaan air, peraturan mengenai batas ruang laut dan udara di Dati I dan Dati II, dan sebagainya. Beberapa rancangan peraturan sedang disusun oleh instansi terkait dalam koordinasi instansi Bappenas sebagai koordinator pengelolaan tata ruang nasional.

Selanjutnya disebutkan dalam UUPR, bahwa setiap kegiatan pembangunan yang memerlukan ruang harus didasarkan pada rencana tata ruang yang sudah ditetapkan. Untuk itu, dalam merumuskan lokasi suatu proyek, izin lokasi, izin mendirikan bangunan, dsb, harus didasarkan pada rencana tata ruang. Kiranya kita sangat paham mengenai hal ini, namun kita juga mengetahui bahwa hal-hal penting itu masih belum terlaksana dengan baik. Hal ini akan menjadi salah satu perhatian utama kita dalam periode Repelita VI ini.

Dengan ruang lingkup penataan ruang seperti itu, akan dirumuskan pola tata ruang nasional yang menjadi pedoman dalam menentukan lokasi dari program-program pembangunan. Dalam perumusan itu, asumsi yang dipergunakan adalah bahwa kota berperan mendorong pertumbuhan kawasan sekitarnya, atau dengan kata lain kota berperan sebagai katalisator dalam peningkatan pertumbuhan wilayah. Asumsi berikutnya adalah bahwa kota mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain dalam suatu hubungan fungsional produksi dan distribusi barang/jasa/informasi. Selanjutnya, dianggap pula bahwa perkembangan kawasan sangat dipengaruhi oleh tingkat pemusatan kegiatan sosial ekonomi kota-kota. Untuk membentuk pemusatan tersebut, jaringan transportasi dan telekomunikasi mempunyai peranan yang sangat penting, khususnya dalam membentuk hubungan fungsional kota-kota.

Pola tata ruang nasional terdiri dari 5 komponen sebagai berikut.

(i) pengembangan kawasan prioritas

Kawasan-kawasan ini telah diidentifikasi di propinsi-propinsi dengan berdasar pada Keppres No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rencana struktur tata ruang propinsi (RSTRP) masing-masing daerah tingkat I.
 
Instrumen untuk kawasan dan kota prioritas adalah antara lain melalui pembangunan prasarana, pemberian insentif baik berupa insentif perpajakan dan perkreditan, pencadangan lahan, dan bantuan studi, serta berbagai kemudahan khusus lainnya.

Selain dari kegiatan-kegiatan yang secara langsung diarahkan untuk membentuk pola tata ruang nasional seperti diuraikan di atas, kita juga merencanakan program-program lain yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas tata ruang di seluruh wilayah. Dalam Repelita VI dan PJP II yang akan datang, antara lain telah ditetapkan tujuh program penataan ruang sebagai berikut:

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 tentang Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang berupa Strategi Nasional Pengembangan Pola Tata Ruang (SNPPTR) merupakan kebijaksanaan pemerintah yang menetapkan (a) struktur dan pola pemanfaatan ruang nasional, dan (b) kriteria dan pola pengelolaan kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan tertentu.

Pola pemanfaatan ruang nasional meliputi pemanfaatan ruang wilayah nasional untuk kegiatan perlindungan dan pengembangan kegiatan budidaya, serta kawasan berfungsi lindung dan kawasan budidaya.

Di dalam kawasan budidaya terdapat kawasan-kawasan yang telah memiliki potensi tertentu berupa aglomerasi kota-kota dengan dukungan infrastruktur yang memadai, aglomerasi kegiatan sektor dan ketersediaan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Kawasan-kawasan ini dapat diandalkan dan strategis bagi pembangunan dan pengembangan ruang nasional. Kawasan-kawasan ini secara umum disebut sebagai kawasan andalan. Di samping itu, kawasan dapat pula dikategorikan sebagai kawasan yang mempunyai fungsi tertentu seperti kawasan pariwisata, kawasan perbatasan, kawasan pertanian, kawasan transmigrasi, dan kawasan militer.

Pola pemanfaatan ruang nasional meliputi pola pengelolaan dan pemanfaatan ruang di kawasan yang berfungsi lindung, kawasan budidaya, dan kawasan tertentu.

Struktur tata ruang nasional adalah wujud dan pola keterkaitan bagian-bagian wilayah nasional yang diperkirakan sesuai untuk menunjang tujuan pembangunan nasional. Mengingat ruang nasional terdiri atas kawasan-kawasan, maka rencana struktur tata ruang nasional merupakan rencana yang mendukung terciptanya keterkaitan kawasan yang sesuai untuk menunjang dan mengisi tujuan pembangunan nasional. Keterkaitan kawasan dapat dilihat dari keterkaitan fungsional kota-kota/pusat-pusat permukiman yang didukung oleh infrastruktur wilayah. Oleh karena itu, struktur tata ruang nasional diwujudkan dalam (a) sistem kota-kota/pusat-pusat permukiman, dan (b) pola prasarana wilayah yang terdiri atas (i) sistem transportasi nasional, (ii) sistem jaringan prasarana listrik dan energi, (iii) sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan prasarana air. Dengan demikian, maka SNPPTR memuat:

Adapun fungsi SNPPTR menurut Pasal 20 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang adalah sebagai pedoman untuk: Demikian beberapa hal yang perlu mendapat pemikiran lebih lanjut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka sebagai penutup dapat disampaikan bahwa upaya pemantapan penataan ruang yang pada dasarnya merupakan upaya untuk mengalokasikan kegiatan ekonomi dalam ruang wilayah nasional dan daerah perlu mendapat perhatian yang sangat besar karena hal terkait dengan upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, mengurangi kesenjangan antardaerah serta untuk meningkatkan pemerataan.
 
Jakarta, 12 Desember 1995